Sunday, November 27, 2011

ADIL MENIMBANG NU VS SALAFI WAHABI


Konflik antara salafy dengan NU bukanlah konflik yang baru, namun sudah hampir mendarah daging. Warga NU baik di kota maupun pedesaan, baik yang liberal maupun yang tradisional, sepakat menolak segala bentuk pemahaman salafy, atau yang biasa mereka sebut sebagai “wahabi”.  Meskipun saya tidak mengatakan semuanya, masih ada ulama NU yang open mind dan tidak mau menelan mentah-mentah informasi yang berkembang.

Paham Anti-wahabi menyebabkan warga NU sangat anti dengan ajaran-ajaran seperti haramnya bid’ah, haramnya tawassul, haramnya isbal, dll. Bahkan menyentuh pada ranah furu’iyyah, seperti jenggot, jumlah azan jum’at, jumlah raakaat shalat tarawih, qunut, dll. Hal ini terlihat sekali di akar rumput NU, yaitu jika mendapati hal yang berbeda, maka dianggap sudah beda aliran, disebut terpengaruh wahabi, terkadang disebut juga disebut muhammadiyah.

Namun sayangnya, Ulama-ulama NU bukannya mencerdaskan warganya agar open mind, namun malah menututp total terhadap pemahaman selain NU, atau yang diklaim “Ahlus sunnah wal jamaah” versi mereka. Padahal madzhab dalam islam sendiri tidaklah satu, sehingga bolehlah setiap orang menentukan mana madzhab yang dianggapnya benar, namun tidak boleh menganggap berbeda mazhab menjadi seakan-akan aliran yang berbeda. Anehnya NU justru lebih terbuka terhadap ritual-ritual yang bertentangan dengan islam seperti tawassul, tahlilan[1], ilmu kebal, dll. Meskipun sekali lagi, tidak semua warga NU seperti itu.

Disini saya juga mengkritik salafy, karena mereka juga mengklaim dirinya ahlus sunnah wal jamaah, sementara kelompok lainnya tidak diannggap ahlus sunnah waljamaah. Bahkan dengan ringan menyebut kelompok lainnya dengan ahlu bid’ah, mu’tazillah, khawarij, ashabiyyah, dll. Kalau kita bandingkan fanatiknya warga NU dengan warga salafy, terdapat perbedaan yaitu jika kebanyakan warga NU fanatik tanpa ilmu (alias sudah menututp diri dulu), sementara salafy fanatik dengan “ilmu”, yakni mereka merasa berilmu tentang kelompok-kelompok lainnya, meski sembrono dalam melakukan penilaian.

Saya menilai solusi dari konflik ini adalah warga NU dan salafy kembali kepada manhaj salafus shalih yang sesungguhnya. Warga NU meninggalkan segala macam bid’ah, khurafat, dan ritual-ritual yang tidak ada dasarnya dalam Kitab maupun sunnah. Juga warga Salafy, mampu melihat secara objektif kelompok –kelompok lainnya, dan secara serius mengkaji pemahaman kelompok lainnya langsung kepada kelompok tersebut, bukan kepada doktrin ulamanya. Sehingga tidak sembrono memvonis kelompok-kelompok lainnya. Pada masa salafus shalih, ada berbagai macam madzhab, namun mereka hidup bersama, boleh berdebat secara ahsan maupun dialog untuk mencari pendapat yang terkuat, namun tetap bertoleransi selama pendapat itu diambil dari dalil syar’i.
Hendaklah perjuangan yang kita lakukan adalah perjuangan mempersatukan umat dibawah satu kepemimpinan, satu imam, seperti pada masa sahabat, tabi’in, maupun tabiut tabi’in. Karena khalifah adalah pemimpin yang seluruh madzhab sepakat akan wajibnya mengangkatnya. Dibawah satu khalifah, insya Allah, ISLAM BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN.  

Tulisan ini sama sekali tidak ada maksud membela salah satu pihak dalam konflik ini, dan saya tidak berada dalam pihak manapun, baik NU maupun salafy, meski secara keturunan saya tergolong sebagai warga NU. (Zulfahmi.net, 24/11/2011)

[1] tahlilan adalah peringatan kematian pada hari ke 7, 40, dst. Hal ini haram bukan krn membaca tahlilnya, tetapi krn menyerupai ritual agama Hindu, yang juga menggelar peringatan kematian pada jumlah hari-hari tersebut. Sementara islam melarang menyerupai agama lain.

4 comments:

  1. Pemikiran manusia akhir zaman ke-4 umat islam...
    Banyak hal yang baru & mengklaim tahu & benar. Sesungguhnya kebenaran hanya milik ALLAH SWT. maka dengan kesadaran itu, ke-4 imam besar sang pencerah islam tidak pernah mencap & memaksakan madzhabnya. Sesungguhnya apabila orang memiliki ilmu al-ihsan, dia akan dapat melihat mana yang benar dan mana yang salah. Karena kesalahan itu cenderung terikat dengan hawa nafsu yang dihembuskan iblis dan bala tentaranya (Innahu lakum 'aduwwummubiin). Mengaku & merasa paling benar & tahu, menyalahkan yang lain adalah bagian dari hawa nafsu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. yups, terimakasih atas komentarnya bapak :)
      syukran

      Delete
  2. hebat!! dapet metode dari mana menganalogikan tahlilan dg ritual agma hidu? hingga disbut tasyabbuh... gmn dg penggunaan uang kertas, pakai dasi, dll?

    ReplyDelete
    Replies
    1. dari belajar lah :D

      analogi tahlilan-tasyabbuh hindu tidak nyambung coy dengan analogi uang kertas, pakai dasi.

      jika tahlilan dianalogikan dengan tasyabbuh hindu, lalu uang kertas dan pakai dasi mau dianalogikan dengan apa?

      kok tidak ada pembandingnya?

      berarti kita masih butuh banyak belajar lagi ttg analogi yang benar berdasar logika yang sehat, bahwa analogi membutuhkan sisi-sisi yang seimbang dari segi jenis dan kelengkapan atribut pembandingnya.

      Delete

Silakan Berkomentar