Oleh: Mohammad Hamdi
DI
TENGAH tengah hiruk-pikuk perpolitikan khususnya di Indonesia seperti
sekarang ini, para penguasa bukan lagi menampilkan wajah agama di atas
tahta kekuasaannya sehingga yang terjadi bangsa ini dibawa pada titik
gelap persoalan kebangsaan yang tidak berujung pangkal.
Bahkan pergantian kepemimpinanpun tidak memberikan tawaran yang lebih
menarik ditimbang persediaan kita untuk menanti datangnya keajaiban
kecil, sehingga bangsa ini mampu bangkit dari keterpurukannya.
Sebab bangsa ini telah mengalami krisis kepercayaan yang begitu
kompleks pada seluruh aspek dan ranah kehidupan yang ada. Itulah fakta
dari sebuah sejarah yang meninggalkan jejak luka dan trauma yang
mendalam.
Mungkin kita telalu lama dijajah atau belum siap
menghadapi pertarurang maha dasyat dunia global (yang boleh jadi sangat
kejam) seperti sekarang ini.
Ketika seorang pemilik koran besar
seperti Dahlan Islam diangkat menjadi Menteri BUMN, tiba-tiba banyak
orang terkaget-kaget karena sang menteri bisa naik-turut kereta murah
(KRL) dan blusukan naik ojeg.
Masyarakat,
pejabat, protokoler, rupanya tidak biasa dengan sidak mendadak gaya sang
menteri yang sederhana dan mengejutkan seperti itu. Mengapa demikian?
Bukankah Dahlan Islam seorang wartawan yang memang dari “sana nya” sudah
terbiasa dengan kegiatan tanpa protokoler?
Mungkin, jawaban
sementara bisa ditebak. Karena kita dan para pejabat menempatkan jabatan
itu adalah anugrah yang layak diperebutkan. Sehingga menjadi sesuatu
yang prestise (istimewa). Boleh jadi karena kelamaan menjadi miskin, saat berkuasa para pejabat selalu minta dilayani, bukan melayani.
Pada
saat yang sama, peran-peran agama dikerdilkan dalam konteks kekuasaan,
maka, ketika seseorang berkuasa, ia sering silap. Saat berkuasa ia bukan
lagi memakmurkan dan mengayomi masyarakat, tapi yang terjadi malah
sebaliknya. Sering menindas dan minta dilayani.
Jika demikian,
implikasi selanjutnya adalah rusaknya tatanan suatu bangsa dan hancurnya
budaya-budaya etis yang telah tertata rapi.
Dari sini, kita perlu melihat kembali keberhasilan seorang keberhasilan pemimpin besar, Rasulullah Muhammad Salallahu Alaihi Wassallam dalam mengatur tatanan masyarakat.
Tidak
sedikit kita dapatkan sejarah yang menegaskan bahwa ketika dalam
peperangan yang disitu ada resiko besar, mulai dari resiko luka sampai
resiko kematiaan, Nabi Sallallahu Aalaihi Wassalam malah tampil pada barisan paling depan, tapi begitu menyangkut pembagian harta ghanimah (harta rampasan peraang), Nabi malah berada pada barisan paling belakang.
Rasulullah, dikenal sebagai seorang pemimpin yang sederhana dan suka membantu umatnya dengan tangannya sendiri secara langsung.
Dari
Ibnu Abid-Dunia pernah mengabarkan, Rasulullah adalah sosok pemimpin
yang selalu membantu orang dengan tangannya sendiri. Beliau menambal
bajunya pun dengan tangannya sendiri. Beliau bahkan tidak pernah makan
siang dan malam secara teratur selama tiga hari berturut-turut, sehingga
beliau kembali ke rahmatullah.
Tarmidzi memberitakan dari Ibnu
Abbas ra. Katanya: “Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam sering tidur
malam demi malam sedang keluarganya berbalik-balik di atas tempat tidur
karena kelaparan, karena tidak makan malam. Dan makanan mereka biasanya
dari roti syair yang kasar. Bukhari pula meriwayatkan dari Abu Hurairah
ra. katanya: Pernah Rasulullah mendatangi suatu kaum yang sedang makan
daging bakar, mereka mengajak beliau makan sama, tetapi beliau menolak
dan tidak makan. Dan Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW meninggal
dunia, dan beliau belum pernah kenyang dari roti syair yang kasar keras
itu.” (At-Targhib Wat-Tarhib, 5:148 dan 151)
Inilah
Rasulullah Sang Pemimpin sungguhan yang semua perilakunya layak menjadi
teladan. Beliau selalu menempatkan kepentingan orang lain di atas
kepentingan diri dan keluarganya. Pola hidupnya sederhana meskipun
beliau bisa memilih hidup kaya bila beliau mau.
Maka tidak salah jika Beliau berwibawa bukan karena menggunakan
kekuasaan, kekerasan atau kekayaan. Beliau tidak perlu ngasih makanan
dan pakaian gratis kepada umat. Beliau berwibawa karena dicintai oleh
umatnya. Sekali lagi dia dicintai selain karena akhlaknya yang mulia
juga karena Beliau telah menjadikan agama sebagai asas dan worldview bagi setiap perilakunya.
Karena itulah, Will Durant dalam “The Story of Cifilization” ketika mengomentari keberhasilan kepemimpinan Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam mengatakan,
“Dia berhasil lebih sempurna dari pembaharu manapun, belum pernah ada
orang yang begitu berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya seperti Dia. Dia
datang seperti sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang
tandus, kemudian meledakkan butir-butir debu menjadi mesin yang membakar
angkasa sejak Delhi hingga Granada.”
Napoleon Bonaparte juga pernah menulis, “I prise god and have references for the holy prophet Muhammad and the holy Qur’an.” (saya menyembah Tuhan, tapi juga memuji Muhammad dan al-Qur’an).
Sementara Micheal Hart menulis, “A
striking example of this my rangkin Muhammad higher than jesus, in
large part because of my believe that Muhammad had a much greater
personal influence on the formulation of the christian religion.” (sebuah
contoh yang sangat tegas adalah urutan Muhammad lebih tinggi dari
yesus, terutama disebabkan oleh pengaruhnya yang luar biasa pada
perumusan agama yang dianut orang Islam melebihi perumusan Yesus
terhadap agama Kristen).
Dari beberapa pernyataan di atas,
setidaknya dapat diambil benang merah bahwa keberhasilan Nabi Muhammad
sebagai pemimpin, baik spiritual maupun negara, tidak hanya membuat
bangga para pengikutnya melainkan juga dapat menggetarkan jiwa dan
memukau hati manusia seantero alam.
Lalu faktor apa yang
menyebabkan kepemimpinan beliau begitu unik dan mampu menggetarkan jiwa
banyak manusia baik kawan maupun lawan?
Agama Sebagai Panglima
Dahulu, banyak orang ramai-ramai terjun ke dunia politik dan kekuasaan karena panggilan jiwa untuk bisa ber-fastabikul khairat (berlomba-lomba berbuat baik) menyelamatkan negara dan mengangkat derajat rakyatnya.
Tetapi
saat ini, orang berpolitik, ingin jadi anggota dewan di parlemen,
semata-mata ingin cepat kaya. Ambisi yang sangat menonjol hanya untuk
mengejar kekuasaan, tanpa harus memiliki visi apapun. Karena cita-cita
mereka bukan hendak mengatur kehidupan ini, tetapi semata untuk
mengumpulkan kekayaan, karena itu eskalasi korupsi dalam tatanan politik
baru itu sangat tinggi.
Fakta cukup jelas, ketika Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan rekening
gendut para PNS muda (berusia sekitar 28 tahun dengan jumlah kekayaan
lebih dari Rp 100 miliar). Belum lagi korupsi kakap lain di Negeri ini.
Apa yang membedakan cara Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam memimpin umatnya dan mengelola negara dengan para pemimpin-pemimnpin jaman ini?
Jawabannya,
tidak lain disamping kepribadian beliau (Muhammad) yang agung dan
sangat memukau juga karena beliau menjadikan agama (Islam) sebagai
panglima dari kekuasaan. Sementara pemimpin abad ini, selalu menjadikan
politik sebagai panglima.
Muhammad senangtiasa menjadikan pesan
dan nilai agama sebagai dasar, sumber, prinsip dan acuan di dalam
menyelenggarakan tata kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara,
sementara kita justru ingin menjauhkannya.
Yang mengerikan, pola
semacam ini bahnya terjadi pada pemimpin-pemimpin baru yang justru
berlatar belakang santri. Mereka yang dulu rajin “mengaji” ketika di
kampus, justu lupa ilmunya ketika berkuasa.
Agama tidaklah
semata-mata cakupan akidah, bukan pula semata-mata ibadah ritual, akan
tetapi agama sebagai asas atau pandangan hidup (worlview), dan menolak agama adalah suatu kebiadaban.
Thomas
Wall mengatakan bahwa kepercayaan pada Tuhan adalah inti dari semua
worldview. Artinya kalau seorang penguasa itu benar-benar percaya pada
Tuhan bahwa dibalik kekuasaannya ada amanah, ia pasti yakin bahwa
baik-buruk, salah-benar serta kekuasaan berasal dari Tuhan. Inilah worlview.
Karena
sikap dan perbuatannya itu, para Sahabat Nabi telah menjadikan
Rasulullah lebih dicintainya dibandingkan dengan ayah, ibu, anak, istri
bahkan diri mereka sekalipun.
Belum pernah ditemukan dalam satu sejarah peradaban dunia manapun,
seorang pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya melebihi kecintaan para
Sahabat terhadap Rasulullah.
Para Sahabat telah menjadikannya sebagai pemimpin, guru dan panglima
serta teladan dalam kehidupan mereka. Mereka rela mengorbankan jiwa dan
raga untuk Rasulullah, mereka rela menjadikan dirinya sebagai tameng
untuk membela Rasulullah, mereka juga menghibahkan seluruh tenaga dan
harta bendanya demi perjuangan yang dilakukan oleh Baginda Muhammad.
Itulah dampak dan hasil seorang pemimpin yang menjadikan Islam sebagai
pandangan hidup (worldview)-nya. Wallahu a’lam.
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor jurusan Ilmu Aqidah
Sumber: http://hidayatullah.com/read/20359/24/12/2011/membangun-indonesia-dengan-worldview-islam.html
No comments:
Post a Comment
Silakan Berkomentar