WASHINGTON (Arrahmah.com) – Sepuluh tahun yang lalu
dunia dikejutkan oleh sejumlah gambar para tahanan yang diklaim sebagai
teroris terkurung dan tersiksa dalam sebuah penjara yang terletak di
pangkalan AS di Kuba. Hari ini 171 tahanan masih tersisa di Guantanamo,
meskipun pemerintah AS bersumpah untuk menutup penjara laknat tersebut.
Pada 11 Januari 2002, sekitar 20 tahanan tiba di pangkalan Guantanamo
dengan kepala ditutup, tangan diborgol, dan mengenakan pakaian oranye.
Mereka dipajang di penjara didirikan di pangkalan militer sewaan dari
Kuba di bawah kesepakatan 1903.
Dengan cepat Guantanamo menjadi simbol ekses terburuk AS dalam perang
melawan Al Qaeda yang diluncurkan pasca serangan 11 September 2001
terhadap Amerika Serikat.
Hari ini, merupakan satu dekade sejak penjara tersebut ditemukan.
Meskipun Presiden Barack Obama berjanji untuk menutup penjara itu, namun
kenyataannya AS terus mendirikan bangunan yang lebih permanen dari
bulan Mei 2002 hingga saat ini.
Dan di dalam bangunan tersebut, 171 tahanan masih merana, dari total
779 yang telah berhasil keluar dari gerbang Guantanamo dalam 10 tahun
terakhir.
Tahanan yang tersisa memiliki kebebasan lebih besar dari pada
hari-hari sebelumnya, dengan akses untuk memperoleh informasi melalui
surat kabar dan televisi, telepon rumah, dan 80 persen dari mereka
diizinkan untuk berbaur di area umum.
“Kami selalu berusaha untuk memperbaiki kondisi fasilitas penahanan,”
kata Kolonel Thomas Donnie, komandan penjara. Ia menuturkan para
tahanan saat ini lebih banyak memiliki kebebasan untuk keluar masuk dari
sel mereka, serta untuk menunaikan shalat dan beristirahat
bersama-sama.
“Meskipun Presiden Obama tetap berkomitmen untuk menutup Guantanamo,
Kongres AS telah mengambil tindakan untuk mencegah langkah-langkah yang
membantu realisasi tujuan ini,” kata juru bicara Pentagon, Letnan
Kolonel Todd Breasseale, pada AFP.
Keberatan dari Kongres ini dilandasi oleh alasan finansial dan
keputusan bahwa tersangka teror harus disidang terlebih dahulu oleh
komisi militer khusus.
“Harapan penutupan Guantanamo semakin hari semakin memudar. Langkah
ini lebih sulit dari yang telah diperkirakan sebelumnya karena alasan
politik dan hukum,” kata Jonathan Hafetz, seorang profesor hukum dari
Seton Hall Law School, yang merupakan salah satu narapidana yang ditahan
di Guantanamo.
Hanya enam tahanan telah ditemukan bersalah oleh komisi militer,
menurut Pentagon, dan tujuh lainnya -termasuk yang mengaku dalang dari
serangan 11 September- akan muncul sebelum pengadilan dalam beberapa
bulan mendatang.
Sekitar 89 tahanan telah dibebaskan dari semua tuduhan, tetapi
menimbulkan sakit kepala bagi pemerintahan Obama sendiri yang tidak
dapat menemukan negara yang tepat untuk membawa mereka di tengah
kekhawatiran bahwa mereka akan menghadapi penganiayaan dan penindasan di
negara mereka sendiri.
Di antara mereka adalah beberapa orang Uighur yang ditangkap di
sebuah kamp di pegunungan Afghanistan setelah invasi pimpinan negara itu
dimulai pada Oktober 2001. Sementara sebagian besar warga Uighur
direlokasi di negara-negara seperti Albania, Bermuda, Palau, dan Swiss.
“Guantanamo telah datang untuk melambangkan 10 tahun kegagalan
sistematis AS dalam menghormati hak asasi manusia sebagai respon
terhadap serangan 11 September,” kata perwakilan Amnesty International,
Rob Freer.
“Guantanamo tetap merupakan penghinaan terhadap hak asasi manusia,
bukan hanya simbol pelecehan atau penganiayaan, tetapi juga simbol
serangan terus-menerus dalam menyepelekan prinsip-prinsip hak asasi
manusia internasional… yang gagal AS jamin akuntabilitasnya.”
Pakar isu terorisme, Karen Greenberg, sepakat dan mengatakan: “Hal
ini tentu menjadi masalah hukum tersendiri karena mereka telah menangkap
orang-orang di Afghanistan atau di tempat lain dan mereka tidak
memiliki kategori hukum di mana mereka akan ditempatkan.”
“Mereka bukan tawanan perang,” tambah pakar dari Fordham University tersebut.
Amnesty International baru-baru ini mengeluarkan laporan untuk
menandai perayaan 10 tahun pembukaan penjara ini dengan judul:
“Guantanamo: Satu dekade kerusakan hak asasi manusia.”
“Kegagalan pemerintah AS untuk menutup fasilitas penahanan di Teluk
Guantanamo meninggalkan warisan beracun untuk hak asasi manusia,”
seperti diungkap dalam laporan itu.
“Akar masalahnya terletak dalam keengganan Amerika Serikat untuk
menerapkan standar hak asasi manusia internasional yang begitu sering
dipropagandakan dan dipaksakan pada pihak lain.”
“Isu Guantanamo ini telah sangat merusak reputasi AS di dunia sebagai
pembela hak asasi manusia,” kata Hina Shamsi, dari American Civil
Liberties Union.
“Sepuluh tahun lalu, tak seorang pun mengira bahwa hal ini akan
menjadi bagian permanen dari lanskap politik AS.” (althaf/arrahmah.com)
No comments:
Post a Comment
Silakan Berkomentar