Sunday, December 25, 2011

KERUSUHAN BIMA 2011: BUKTI AROGANSI APARAT?

JAKARTA (Arrahmah.com) – Tindakan brutal aparat kepolisian saat insiden di Bima menimbulkan kecaman dari beberapa kalangan karena dianggap melanggar hak asasi manusia. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengecam tindakan aparat keamanan yang menewaskan dan melukai sejumlah pengunjuk rasa yang memperjuangkan haknya di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Menurut Din, tindakan tersebut mencerminkan tirani dan sikap arogansi kekuasaan dari negara dan aparat negara yang tidak melindungi rakyatnya.
Bentrokan berdarah itu terjadi kemarin (24/12/2011) antara aparat kepolisian dengan warga di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB),  Akibat bentrokan itu, 2 orang tewas dan 22 orang terluka.
Bentrok antara polisi dengan warga berawal dari enggannya para pengunjukrasa meninggalkan Pelabuhan ASDP Sape. Pelabuhan tersebut telah diduduki sejak Senin lalu (19/12).
Dari pantauan di lapangan, polisi yang berjumlah sekitar 300 personel awalnya melakukan upaya persuasif untuk meminta warga yang menolak pertambangan milik PT Sumber Mineral Nusantara agar membubarkan diri.
Diduga upaya tersebut mengalami jalan buntu hingga bentrokan tak terhindarkan. Selain korban tewas, terdapat 22 orang luka-luka dan beberapa korban dilaporkan menderita luka tembak.
Bukan hanya ketua PP Muhammaduiyah, tindakan brutal polisi itu pun membangkitkan amarah para mahasiswa Bima. Mereka mengecam sikap aparat kepolisian yang mengambil langkah represif, untuk membubarkan aksi pemblokiran Pelabuhan Sape.
Aksi mahasiswa itu diawarnai isak tangis mahasiswa, yang keluarganya menjadi korban pembubaran paksa pemblokiran di Pelabuhan Sape, Sabtu (24/12). Dalam orasinya, mahasiswa menuntut pencabutan ijin tambang PT Sumber Mineral Nusantara.
Massa juga menuntut Bupati Bima Ferry Zulkarnain bertanggung jawab atas peristiwa ini.
Dilain tempat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan akan mencari fakta dugaan kasus pelanggaran hak asasi manusia terkait aksi pendudukan jembatan penyeberangan feri di Bima, NTB.
Menurut Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, Komnas HAM sejak awal telah meminta pemerintah daerah untuk mencari penyelesaian kasus penolakan tambang emas yang menjadi pemicu pendudukan jembatan tersebut.
“Kasus kekerasan di Bima itu bukan yang pertama terjadi. Kasus penembakan juga pernah terjadi pada April 2011,” kata Ifdhal pada hari Sabtu (24/12) malam di Jakarta, dilansir kompas.com.
Hingga kini, kasus itu masih dalam penyelidikan.

(siraaj/arrahmah.com)

BIMA (Arrahmah.com) – Sebanyak 4 warga gugur dan 8 warga lainnya terluka oleh tembakan aparat kepolisian, dalam bentrokan antara ratusan BRIMOB dengan warga yang memblokade pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, pada hari Sabtu pagi (24/12/2011).
Bentrokan dipicu oleh sikap pemerintah daerah setempat yang tidak menggubris protes warga masyarakat. Masyarakat menolak izin penambangan untuk dua perusahaan PT Indo Mineral Persada dan PT Sumber Mineral Nusantara, di Sambu dan Sape, Bima. Penambangan kedua perusahaan besar tersebut dilakukan di dekat pemukiman dan lahan pertanian warga.
Seperti dilaporkan oleh detik.com (24/12/2011), menurut data Koalisi LSM yang dikoordinasi Walhi dan JATAM, penentangan warga setempat terhadap proyek penambangan sudah disuarakan sejak tahun 2008. Awal tahun ini Front Rakyat Anti Tambang sudah mendesak Pemda Bima untuk mencabut surat ijin perusahaan Sumber Mineral Nusantara.
Setelah berkali-kali diabaikan oleh Pemerintah Daerah, warga masyarakat melakukan aksi unjuk rasa dan sejak tanggal 19 Desember 2011 memblokade Pelabuhan Sape. Kepolisian membubarkan paksa aksi protes warga dengan mengerahkan ratusan anggota BRIMOB bersenjata laras panjang. Sebanyak 4 warga gugur oleh peluru tajam aparat BRIMOB, dan 8 warga lain yang terluka dilarikan ke beberapa RS setempat.
Tindakan represif aparat kepolisian dan keberpihakan Pemda Bima terhadap perusahaan tambang mendapat kecaman keras oleh pihak LSM, mahasiswa, anggota DPR, dan tokoh masyarakat. Inilah buah ‘manis’ sistem ekonomi kapitalis bagi  para pengusaha. Kepentingan rakyat diinjak-injak demi memuaskan nafsu serakah para pemodal besar.
(muhib al-majdi/arrahmah.com)

No comments:

Post a Comment

Silakan Berkomentar