JAKARTA (Arrahmah.com) – Tindakan brutal aparat
kepolisian saat insiden di Bima menimbulkan kecaman dari beberapa
kalangan karena dianggap melanggar hak asasi manusia. Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengecam tindakan aparat
keamanan yang menewaskan dan melukai sejumlah pengunjuk rasa yang
memperjuangkan haknya di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Menurut Din, tindakan tersebut mencerminkan tirani dan sikap arogansi
kekuasaan dari negara dan aparat negara yang tidak melindungi
rakyatnya.
Bentrokan berdarah itu terjadi kemarin (24/12/2011) antara aparat
kepolisian dengan warga di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat
(NTB), Akibat bentrokan itu, 2 orang tewas dan 22 orang terluka.
Bentrok antara polisi dengan warga berawal dari enggannya para
pengunjukrasa meninggalkan Pelabuhan ASDP Sape. Pelabuhan tersebut telah
diduduki sejak Senin lalu (19/12).
Dari pantauan di lapangan, polisi yang berjumlah sekitar 300 personel
awalnya melakukan upaya persuasif untuk meminta warga yang menolak
pertambangan milik PT Sumber Mineral Nusantara agar membubarkan diri.
Diduga upaya tersebut mengalami jalan buntu hingga bentrokan tak
terhindarkan. Selain korban tewas, terdapat 22 orang luka-luka dan
beberapa korban dilaporkan menderita luka tembak.
Bukan hanya ketua PP Muhammaduiyah, tindakan brutal polisi itu pun
membangkitkan amarah para mahasiswa Bima. Mereka mengecam sikap aparat
kepolisian yang mengambil langkah represif, untuk membubarkan aksi
pemblokiran Pelabuhan Sape.
Aksi mahasiswa itu diawarnai isak tangis mahasiswa, yang keluarganya
menjadi korban pembubaran paksa pemblokiran di Pelabuhan Sape, Sabtu
(24/12). Dalam orasinya, mahasiswa menuntut pencabutan ijin tambang PT
Sumber Mineral Nusantara.
Massa juga menuntut Bupati Bima Ferry Zulkarnain bertanggung jawab atas peristiwa ini.
Dilain tempat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
mengatakan akan mencari fakta dugaan kasus pelanggaran hak asasi manusia
terkait aksi pendudukan jembatan penyeberangan feri di Bima, NTB.
Menurut Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, Komnas HAM sejak awal telah
meminta pemerintah daerah untuk mencari penyelesaian kasus penolakan
tambang emas yang menjadi pemicu pendudukan jembatan tersebut.
“Kasus kekerasan di Bima itu bukan yang pertama terjadi. Kasus
penembakan juga pernah terjadi pada April 2011,” kata Ifdhal pada hari
Sabtu (24/12) malam di Jakarta, dilansir kompas.com.
Hingga kini, kasus itu masih dalam penyelidikan.
(siraaj/arrahmah.com)
No comments:
Post a Comment
Silakan Berkomentar