Wednesday, October 26, 2011
PEMERINTAH SUSPECT ISLAMOPHOBIA?
Oleh: Ahmad Arif Ginting
PEKAN silam, sebuah media memberitakan, pengelola dan pengunjung sejumlah toko-toko buku di Tanjungbalai Karimun, Rabu (19/10/2011) sekitar pukul 14:30 WIB dibuat kaget dengan kedatangan Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Tanjungbalai Karimun, Hanjaya Candra SH beserta beberapa orang anggotanya.
Hanjaya dan orang-orangnya melakukan inspeksi mendadak (sidak) terkait peredaran 9 judul buku terlarang di toko-toko buku tersebut. Sidak tersebut diantaranya dilakukan di Toko Buku Salemba depan kantor Imigrasi, Kolong, TB Bintaro samping Swalayan Indo A Yani, Jack Agency depan BNI, TB Al Kautsar Pasar Sri Karimun.
Hanjaya Candra SH, Kasi Intel Kejari Tanjungbalai Karimun kepada wartawan mengatakan ada 9 judul buku yang dicekal peredarannya di Indonesia termasuk di Kabupaten Karimun oleh Jaksa Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung RI. Hal itu dikarenakan isi buku tersebut dinilai beraliran kerasa dan menyimpang dari ajaran agama tertentu.
Selain itu, buku tersebut dikhawatirkan akan cendrung menciptakan bentuk-bentuk pemikiran terorisme bagi pembacanya. "Ke sembilan judul buku tersebut dikhawatirkan membuat pembacanya terprovokasi mengikuti teori-teori yang dipaparkan," kata Hanjaya Candra usai sidak.
Daftar Buku Dalam Pengawasan Kejari:
1. Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 2 karangan Sayyid Quthb, Diterjemahkan oleh As'ad Yasin-Muahotob Hamzah, Terbitan Gema Insani Depok-Jakarta 2001.
2. Loyalitas dan Anti Loyalitas dalam Islam karangan Muhammad bin Sa'id Al Qathani diterjemahkan oleh Salahudin bin Abu Sayid terbitan PT Era Adi Citra Intermedia-Solo 2009.
3. Ikrar Perjuangan Islam karangan Dr. Najih Ibrahim diterjemahkan oleh Abu Ayub Ansyori terbitan Pustaka Al Alaq dan Al Qowam-Solo 2009
4. Khilafah Islamiyah-Suatu Realita bukan Khayalan karangan Prof Dr. Syeikh Yusuf Al Qaradawi diterjemahkan oleh Ahmad Nuryadi, terbitan PT Fikahati Aneka-Jakarta 2000.
5. Kado Istimewa untuk Sang Mujahid karangan Syakh Dr Abdullah Azzam, diterjemahkan oleh Abdul Fattan Al Bourie, terbitan PT Pustaka Al Alaq-Solo 2008.
6. Catatan dari Penjara - Untuk Mengamalkan dan Menegakan Dinul Islam karangan Abu Bakar Ba'asyir, terbitan Mushaf, Depok Jawa Barat, 2008.
7. Bagaimana Membangun Kembali Negara Khilafah karangan Syabab Hizbut Tahrir Inggris, diterjemahkan oleh M Ramdhan Adi, terbitan Pustaka Thariqul Izzah, Bogor 2008.
8. Syariat Islam-Solusi Universal karangan Prof Wahbah Az Zuhali, diterjemahkan oleh Ridwan Yahya LC, terbitan Pustaka Nawaitu, Jakarta Timur 2004.
9. Visi Politik Gerakan Jihad karangan Hazim Al Madanidan Abu Mus'ab As Suri, diterjemahkan oleh Luqman Hakim Lc dan Umarul Faruq Lc, terbitan Jazera, Solo 2010.
Suspect Islamofobia
Keputusan Kejaksaan Agung yang memutuskan pelarangan buku Sayyid Quthb tentu mengagetkan kita. Kebijakan Pemerintah ini sudah di luar akal sehat alias ngawur. Sebab, bukankah tema syariah, jihad dan khilafah sudah lama termaktub dalam kitab-kitab para ulama sejak dulu, bahkan biasa menjadi rujukan para santri di pesantren-pesantren; sementara kasus-kasus terorisme baru balakang saja muncul?
Kalau memang buku-buku tersebut dianggap mendorong orang melakukan tindakterorisme, mengapa aksi-aksi terror tersebut baru belakangan terjadi, tidak sejak puluhan atau ratusan tahun lalu sejak kitab-kitab yang membahas tema-tema tersebut ditulis para ulama? Lagipula, dalam kitab-kitab tafsir mu’tabar—yang tentu menguraikan langsung makna-makna al-Quran—ketiga istilah tersebut bukan istilah asing.
Buku-buku Sayyid Quthb sudah beredar sejak tahun 80-an. Namun sampai hari ini, tak ada ulama dunia mana pun keberatan, apalagi menganjurkan pelarangan. Apalagi mencaci-maki. Jika ada yang salah, pasti sejak dahulu ulama sudah melarangnya.
Bahkan, sejak tahun 80-an buku-buku Sayyid Quthb bisa diperoleh secara bebas di Arab Saudi. Apakah saat itu, banyak ulama besar kita yang tak mengerti bahasa Arab?
Jika benar-benar Pemerintah melakukan pengawasan dan pelarangan terhadap buku-buku Islam, umat Islam akan mudah menyimpulkan bahwa Pemerintahan ini benar-benar sedang memusuhi mereka. Dengan kata lain, pemerintahan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini telah menjadi suspect (penderita) islamofobia yang jelas-jelas lebih berbahaya dan mematikan dari pada flu burung. Bahkan flu babi atau antrax sekali pun.
Istilah islamofobia merujuk pada suatu ketakutan atau sikap anti terhadap Islam. Istilah ini sebenarnya sudah cukup lama muncul. Menurut Dr. Abduljalil Sajid, Chairman Muslim Council for Religious and Racial Harmony UK, istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1991 dan didefinisikan oleh Runnymede Trust pada tahun 1997 dalam laporannya yang bertajuk “Islamophobia is a challenge to us all”.
Sedangkan menurut Sekjen PBB tahun 1997-2006, Kofi Annan, istilah islamofobia sudah ada sejak akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an. Namun istilah ini semakin populer setelah peristiwa konspirasi 11 September 2001. Sejak peristiwa WTC itu, citra Islam menjadi negatif yang digambarkan sebagai agama teroris dan radikal di mata dunia internasional.
Terorisme dan UU Intelijen
Pencekalan buku di atas merupakan bagian sistematis dari upaya deradikaliasi keberislaman muslim Indonesia yang dilakukan oleh BNPT (Badan Nasional Penganggulangan Terorisme) terkait dengan isu terorisme dan radikalisme.
Dan, ini bukanlah yang pertama. Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam wawancara dengan sebuah majalah berita mingguan meminta aparat intelijen meneliti buku-buku karya cendekiawan Muslim Sayyid Quthb dan Hasan Al-Banna. Hal itu pula yang diusulkan oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono. Sementara Departemen Agama membentuk Tim Penanggulangan Terorisme (TPT) untuk mengkaji makna “jihad” .
Bahkan, yang lebih mengherankan lagi, saat banyak kaum Muslim dipersalahkan atas kasus terorisme, mantan Panglima Laskar Jihad Ja'far Umar Thalib justru mengusulkan pelarangan buku-buku Sayyid Quthb. Dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV swasta, Ja’far juga menyerukan agar dalam menangani kasus terorisme, pemerintah tidak saja mulai memberangus paham-paham radikal dan terorisme dengan cara represif, tapi juga pemerintah didesak untuk mengawasi, bahkan melarang peredaran buku-buku berideologi radikal, serta pengawasan terhadap halaqoh (pengajian kelompok kecil).
Saat ditanya, apakah semua pembaca dan pemilik buku Das Capital dan Marxisme mesti menjadi komunis atau PKI dan buku-bukunya harus dilarang? Ia hanya menjawab, “Ya, tetapi banyak orang yang sudah teracuni dengan buku-buku Sayyid Quthb,“ ujarnya (hidayatullah.com, 16/10/2009).
Sebelumnya lagi, Harian Republika, Jumat (27/11/2005), hal. 20, memuat berita berjudul: “Depag Kaji Buku Jihad Radikal”. Dalam berita ini tertulis: “Terkait dengan rencana pelarangan buku-buku tentang jihad, menyusul munculnya aksi terorisme berkedok perjuangan suci Islam, Departemen Agama (Depag) RI, saat ini terus melakukan kajian mendalam terhadap buku-buku yang telah beredar.”
Menyikapi berita tersebut, dalam CAP (Catatan Akhir Pekan)nya, Dr. Adian Husaini menegaskan, pernyataan Sekjen Depag itu hanyalah sebagian dari rangkaian besar gelombang penyebaran opini melalui media massa yang mengkaitkan masalah terorisme dengan radikalisme. Bahwa, terorisme yang dilakukan oleh kelompok Azahari dan kawan-kawan adalah buah dari pemahaman radikalisme Islam. Karena itu, untuk mencegah terorisme, ajaran radikalisme harus dilarang. Itulah logika yang selama ini mencoba hendak dibangun (hidayatullah.com, 28/11/2005)
Sejatinya deradikalisasi adalah lawan dari radikalisasi yang selama ini dianggap sebagai biang munculnya aksi-aksi terorisme. Pertanyaannya: siapa yang melakukan—termasuk yang mendorong—aksi radikalisasi selama ini?
Terkait dengan itu, “Bom Solo” sebagai kasus paling mutakhir dalam fragmen terorisme di Tanah Air, misalnya, mau tidak mau memaksa umat Islam untuk mempertanyakan kembali paling tidak dua hal. Pertama: dari aspek politik, sejauh mana kasus-kasus tindakan terorisme itu murni dilakukan oleh pelaku ataukah memang ada rekayasa intelijen, terutama dikaitkan dengan upaya ‘radikalisasi’ dengan target memojokkan kelompok-kelompok Islam.
Maklum, kemungkinan tersebut sering dimunculkan oleh sebagian tokoh Muslim dikaitkan dengan agenda global Amerika Serikat: War on Terrorisme (WOT). Dalam kasus “Bom Solo’, indikasi adanya ‘radikalisasi’ pihak luar ini tampak ‘nyata’. Paling tidak karena pelakunya sudah diketahui oleh aparat/pemerintah (ingat pidato SBY sesaat setelah ‘Bom Solo’ meledak) sebagai ‘Jaringan Cirebon’, padahal belum dilakukan penyelidikan.
Artinya, di sini kemungkinan aksi teror sudah diketahui sebelumnya, tetapi kemudian seolah-olah terjadi pembiaran agar taget ‘radikalisasi’ tercapai. Tujuannya, salah satunya, terkait dengan kepentingan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Intelijen. Artinya, Pemerintah sepertinya memerlukan legitimasi lebih untuk mengesahkan RUU tersebut. ‘Radikalisasi’ adalah salah satu pintu yang bisa dimasuki. Terbukti, RUU Intelijen segera disahkan menjadi UU tidak lama setelah kasus ‘Bom Solo’.
Proyek Deradikalisasi
Jika Pemerintah—dalam hal ini diwakili oleh BNPT—tetap memaksakan proyek deradikalisasi, selain pasti akan menunai kegagalan, juga amat berbahaya. Boleh jadi proyek tersebut semakin menambah kebencian baru dan lebih luas dari kaum Muslim yang merasa terusik dengan proyek ini karena nyata-nyata sarat dengan upaya menyimpangkan Islam.
Pada gilirannya proyek deradikalisasi malah bisa memicu perlawanan yang lebih luas dari kaum Muslim, yang tentu tidak kita harapkan. Sebab, jika itu yang terjadi, jelas bukan hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan konflik antara umat Islam dan Pemerintah. Ini jelas bisa lebih berbahaya daripada terorisme itu sendiri.
Yang harusnya dilakukan, pertama, seharusnya Pemerintah tidak terus-menerus ikut permainan politik Amerika Serikat atas nama War on Terrorism. Sebab, faktanya perang melawan terorisme yang dikomandani Amerika Serikat terbukti justru memunculkan aksi-aksi teror baru. Sebab, sejak awal Perang Melawan Terorisme adalah ilegal karena didasarkan pada sebuah kebohongan, baik terkait Peristiwa 11 September yang hingga kini masih dipertanyakan keabsahan pelakunya (apakah benar-benar al-Qaidah) maupun terkait senjata pemusnah massal di Iraq yang menjadi cikal-bakal Amerika Serikat memulai serangan dan pendudukan atas negeri tersebut, juga atas Afganistan.
Kedua, seharusnya Pemerintah memahami keinginan rakyat yang sudah terlalu muak dengan berbagai kondisi yang bobrok yang menimpa bangsa dan negara ini. Maraknya kasus korupsi, perampokan sumberdaya milik rakyat oleh pihak asing, terjadinya banyak kasus amoral (perzinaan, perselingkuhan, pemerkosaan), kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan mahal, dan lain sebagainya adalah faktor-faktor yang nyata-nyata menimbulkan frustasi sosial yang bisa berujung pada tindakan radikal dari sebagian kelompok masyarakat.
Sebagai penutup, perlu ditegaskan, dari pada mencekal peredaran buku-buku keislaman yang akan memantik kebencian mayoritas penduduk negeri ini, lebih baik mencekal para politisi busuk, koruptor binal, pejabat nakal dan yang sejenisnya dari panggung perpolitikan nasional. Sehingga, orang kebanyakan mampu merasakan bahwa hidup itu memang indah, seindah panorama di negeri zamrud khatulistiwa ini.
Bila kedua hal tersebut diabaikan, maka jangan pernah rutuki jika suatu saat nanti negeri ini berada di tepi jurang kekufuran besar-besaran. Bukankah Baginda Rasulullah SAW telah menegaskan sejak 15 abad silam, betapa kemiskinan itu seringkali menyebabkan kekafiran; kada al faqru an yakuna kufran?! Walalhu a’lam bi shawab.
Penulis adalah peminat kajian sosial keagamaan, alumni Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Red: Cholis Akbar
Sumber:
http://hidayatullah.com/read/19516/26/10/2011/pemerintah-kita-suspect-islamofobia!-.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silakan Berkomentar