JAKARTA (Arrahmah.com) - Usulan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar para pemuka agama (ulama) mendapatkan sertifikasi dari pemerintah ditanggapi keras oleh Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab. Menurut Habib Rizieq, usulan tersebut bentuk pelecehan terhadap ulama dan Islam.
"Usulan Sosiolog Unas dan rencana BNPT tentang perlunya sertifikasi ulama dengan motivasi deradikalisasi Agama Islam adalah penghinaan terhadap ulama, bahkan penistaan terhadap agama Islam," katanya melalui pesan singkat kepada arrahmah.com, Sabtu (8/9).
Lanjut Habib Rizieq, saat ini BNPT sudah kebablasan. Mereka dinilai tidak paham kesucian agama Islam dan tidak tahu kemuliaan ulamanya.
"BNPT ingin memposisikan Islam dan ulamanya sebagai musuh, sehingga mereka ingin punya justifikasi dan legitimasi untuk "mengerjai" Islam dan ulamanya," ujarnya
Oleh sebab itu Habib Rizieq menyerukan agar segenap komponen ulama menolak keras usulan gila dan edan BNPT itu. Jika BNPT menjadikan Islam dan ulama sebagai musuh, dia juga menyerukan umat Islam untuk melakukan perlawanan.
"Saya serukan segenap ulama untuk menolak keras usulan gila dan rencana edan tersebut. Dan saya serukan segenap umat Islam untuk siapkan diri melawan BNPT dan Densus 88-nya jika mereka menjadikan Islam dan Ulamanya sebagai musuh. Hidup Mulia atau Mati Syahid. Allahu Akbar!," lontar Habib Rizieq.
Sebelumnya Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, mengusulkan agar para ulama mendapatkan sertifikasi dari negara. Menurut BNPT, sertifikasi da'i dan ustad adalah salah satu cara mencegah ajaran radikal. Hal itu sudah dilakukan oleh negara Singapura dan Arab Saudi. (bilal/arrahmah.com)
JAKARTA (Arrahmah.com) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang mengusulkan sertifikasi bagi pemuka agama telah menghina ulama.
"BNPT itu sontoloyo, usulan ngawur dan tidak masuk akal," kata Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al Khaththath, Senin (10/9) seperti dikutip itoday.
Menurut Al Khaththath, Kementerian Agama (Kemenag) yang akan melakukan sertifikasi terhadap ulama juga bermasalah. "Kalau yang melakukan sertifikasi Kemenag juga bermasalah.Kita tahu masalah yang ada di Kemenag," ungkapnya.
Kata Al Khaththath, seharusnya para pejabat negara mulai dari presiden sampai kepala desa yang harus mendapatkan sertifikasi antikorupsi. "Bukan ulama yang harus mendapat sertifikasi tetapi pejabat negara mulai dari presiden sampai kepala desa mendapat sertifikasi antikorupsi," paparnya.
Ia juga mengatakan, usulan itu menunjukkan para pejabat BNPT antek asing. "Kalau sudah membenci, mencurigai ulama, itu menunjukkan BNPT antek asing. Ulama itu berjuang untuk NKRI," ujar Al Khaththath.
Kata Al Khaththath, BNPT yang mencurigai ulama dan membenci Islam menjadi bukti ayat Al Quran bahwa orang-orang Yahudi dan tidak akan rela kepadamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. "Program BNPT menjadi bukti ayat Al Quran bahwa orang-orang Yahudi dan tidak akan rela kepadamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. BNPT itu khan diisi Petrus Golese yang Nasrani dan membenci Islam," pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)
JAKARTA (Arrahmah.com) - Ide Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang diketuai Ansyaad Mbai untuk mensertifikasi para ustadz dinilai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai langkah yang memalukan. PBNU merasa prihatin karena gelar ustad, guru ulama dan kiai adalah pemberian masyarakat, bukan anugerah dari pemerintah.
"Karena itu pemerintah tidak boleh mengintervensi predikat yang telah diberikan oleh masyarakat. Kalau dilakukan itu sama saja dengan intervensi ke wilayah civil society. Padahal, ide itu tidak akan menyelesaikan masalah dan itu gagasan orang yang putus asa," kata Slamet Effendy Yusuf pada wartawan di Jakarta, Senin (10/9) seperti dikutip dari JPNN.
Bahkan Slamet menyebut dasar pemikiran sertifikasi ustad itu sebagai ide fasis. Sebab, berangkat dari masalah terorisme lantas negara melakukan kontrol terhadap wilayah agama.
"Ini justru akan menghambat demokrasi. Dan yang terjadi BNPT akan menginteli pesantren-pesantren," tegas Slamet.
Sejauh ini para kiai di pesantren khususnya di kalangan NU sudah melakukan deradikalisasi dengan Islam yang moderat (tawassuth), dan tolerans (tasamuh). "Yang menjadi pertanyaan, kenapa gerakan BNPT dan Densus 88 justru melahirkan generasi teroris baru? Karena itu, kita harus menjernihkan pemikiran tentang bagaimana cara memberantas terorisme itu sendiri. Jangan sampai kekerasan seperti dilakukan Densus 88 selama ini menjadi tontotan masyarakat," ujar Slamet. (bilal/arrahmah.com)
MAKASSAR (Arrahmah.com) - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md menolak keras dengan adanya usulan sertifikasi ulama yang digagas oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).
"Saya sangat tidak setuju. Itu sangat berbahaya. Yang boleh mensertifikasi ustad hanyalah ustad itu sendiri. Tidak boleh aparat keamanan," kata Mahfud usai menyampaikan orasi ilmiah pada Dies Natalis ke-56 Universitas Hasanuddin di Makassar, Senin, (10/9).
Menurut Mahfud, di dalam agama (Islam) ada perintah bahwa setiap orang yang mengerti (agama) walau satu ayat harus menjadi ustad, harus berdakwah. "Lalu kalau disertifikasi, semua umat Islam yang mengerti ayat harus disertifikasi. Ini sangat berbahaya sebab suatu saat bisa dipolitisasi oleh tangan orang yang salah. Ini justru lebih Orde Baru daripada Orde Baru," katanya.
Mahfud mengatakan, di zaman Orde Baru, ustad disertifikasi saat ingin melakukan khutbah salat Jumat dan hari raya. Jika saat ini ustad juga disertifikasi, maka sangat berlebihan. "Ini hanya untuk menekan masyarakat, bukan untuk membina masyarakat. Akan kita lawan," ujarnya.
Seperti diberitakan,Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris menilai sertifikasi ustadz adalah salah satu cara mencegah ajaran radikal.
"Dengan sertifikasi, maka pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi," kata Irfan dalam diskusi Sindo Radio, Polemik, bertajuk "Teror Tak Kunjung Usai" di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (8/9) lalu.
BNPT sendiri, sudah melakukan pengamatan langsung ke dua negara yakni Arab Saudi dan Singapura. Hasilnya, kedua negara tersebut dinilai efektif menekan ajaran radikal.
Menurut Mahfud, jika usulan ini diundangkan, maka setiap orang yang mau berbicara dan berdakwah tidak akan dibolehkan. "Ini adalah pelanggaran HAM," katanya. Jikalau pun usulan ini diundangkan, kata dia, maka boleh jadi undang-undang ini akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
"Saya tidak setuju karena ustad akan diidentikan dengan teroris. Persoalan ustad yang terlibat terorisme adalah kasuistik. Ustad yang nasionalis lebih banyak ketimbang ustad yang terlibat teroris. Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan oleh negara untuk memberantas terorisme," kata Mahfud. (bilal/dbs/arrahmah.com)
No comments:
Post a Comment
Silakan Berkomentar