Siapapun yang telah mengendarai sepeda motor dan memiliki Surat Izin
Mengemudi (SIM), khususnya di ibukota negara ini, pasti tahu rahasia
umum dipersulitnya pembuatan SIM jika tanpa uang tambahan yang
dipersyaratkan. Banyak yang harus mengikuti arus untuk terjebak membayar
lebih, dari sistem percaloan yang “dilegalkan” oleh, yang katanya,
oknum POLRI. Ada pula yang senang adanya fasilitator untuk membantunya
membuat SIM lebih cepat.Sistem yang “bermasalah” itu, mungkin
muncul bukan hanya dari kenakalan yang namanya oknum POLRI itu. Tetapi,
dari pihak pemohon SIM pun telah membuka celah dari awal sehingga memicu
pembudayaan legalisasi pungli, yang biasanya dikemas dengan nama
"Pembuatan SIM Kolektif".
Pengalaman nyata itu telah saya alami sendiri 3 tahun silam. Ketika baru beranjak masuk dunia perkuliahan, dengan harapan idealisme yang terjaga keistiqomahannya. Masih hangat-hangatnya jiwa mahasiswa yang menjaga integritas yang dibekali saat ospek. Saya ber-azzam untuk membuat SIM melalui jalur reguler, dengan ujian dan tes praktik yang akan saya hadapi. Sebenarnya, saya punya sebuah peluang besar melalui jalur saudara, seorang polisi dan berpangkat lumayan tinggi. Tapi, saya memutuskan memperolehnya dengan usaha sendiri saja.
Saya pun memberanikan diri mengajukannya sendiri ke Samsat Kalideres. Saat sampai ke parkirannya, sudah tergaung-gaungkan dengan jelas larangan menggunakan calo dalam pembuatan SIM. Namun, cerita selanjutnya berbeda ketika masuk ke dalam “sarangnya”.
Saya mendaftar, membayar tarif normal, mengisi form yang disediakan, menunggu dan tibalah saatnya untuk ujian tertulis. Dengan polos terus menunggu hasil ujiannya, sesuai waktu yang ditentukan. Saya yakin lulus, karena sebelum ke Samsat itu, saya belajar sungguh-sungguh layaknya menghadapi UAN, SNMPTN, ataupun USM.
Akhirnya, penantian itupun sia-sia dengan diumumkannya bahwa saya termasuk satu di antara banyak peserta yang tidak lulus dalam ujian tertulis. Saya merasa kecewa. Saya tanya kapan ujian ulang, dan saya agendakan untuk ujian ulang 2 minggu kemudian. Saya persiapkan dengan belajar lebih giat ke toko buku.
Ujian kedua pun berlangsung dan hasilnya tetap tidak lulus. Saya heran, sesulit itukah penilaiannya? Hingga terbersit di hati, "UAN, SNMPTN, dan USM PTK saja alhamdulillah lulus, masa ujian seperti ini saja tidak lulus?"
Saya pun menuruti untuk ujian ketiga kalinya dan hasilnya tetap tidak lulus. Saya heran dan curiga dengan “permainan” di balik loket yang terjadi. Akhirnya, saya memberanikan diri untuk bertanya ke loket, kurang lebihnya seperti ini, “Kok saya ga lulus-lulus ya, Pak? Gimana neh supaya lulus?”
Jawaban mereka pun datar awalnya, “Ngulang lagi mas 2 minggu lagi.”
Saya terus mendesak. Akhirnya, terbukalah kedok sesungguhnya, “Ke lantai atas aja mas, ruang 37”.
Di ruang itulah terbukti, korupsi sistemik segerombolan polisi yang berprofesi sebagai oknum, atau sebaliknya. Saya dengan pasang body berpikir, kelicikan harus dihadapi dengan kecerdikan! Sudah pada batas maksimal toleransi.
Saya pakai cara terakhir, karena dengan cara reguler itu tak tembus-tembus, dengan mengatasnamakan sebagai anggota. Toh, keluarga saya adalah keluarga besar polisi dan ABRI, dan memang sepupu saya punya pangkat yang cukup ditakuti oleh mereka se-SAMSAT itu.
Masuk ke ruangan itu, setelah saya mengajukan untuk bisa lulus bagaimana caranya, mereka secara terang-terangan mengajukan permintaan uang, “Bawa duit berapa?”
Tapi pikirku cerdik, yang menyogok dan disogok akan sama-sama mendapat ganjaran kelak, na’udzubillah. Saya katakan tak punya uang, masih mahasiswa. Saya langsung “nembak”, "Saya anggota, Pak."
Spontan mereka kaget dan mengatakan, kenapa tidak bilang dari tadi. Saya dioper-oper ke ruang selanjutnya untuk mengurus kelulusan itu, yang mana saya mengajukan untuk ujian ulang, komputer! Saya berani, karena yakin lulus. Dan benar saja, terbukti SAYA LULUS dalam ujian komputer yang dilaksanakan dengan rombongan pembuat SIM kolektif yang sedang ujian formalitas dengan komputer. Benar saja, dengan manual saya tak akan lulus, dengan komputer terbuktilah sudah yang haq dan yang bathil!
Akhirnya lulus, ujian tertulis dan melanjutkan tahap selanjutnya ujian praktik. Tantangan yang sama saya hadapi. Pungli berlaku dengan diskriminasi yang terang-terangan antara yang bayar dan tidak bayar. Saya pun menggunakan cara jitu yang mereka takuti. Berbicara 4 mata dengan oknum dari mereka, dengan pasang badan siap mental akhirnya mereka meluluskannya juga. Toh, memang saya bisa lulus dengan ujian standar yang tak dipersulit.
Kesyukuran besar ketika bisa lulus ujian dan tantangan kecil ini. Jelas Allah memberikan kemenangan bagi kaum yang benar. Yang haq pasti mengalahkan yang bathil. Insyaallah. Wallahu’alam.
Lapangan Banteng,
YSN
Pengalaman nyata itu telah saya alami sendiri 3 tahun silam. Ketika baru beranjak masuk dunia perkuliahan, dengan harapan idealisme yang terjaga keistiqomahannya. Masih hangat-hangatnya jiwa mahasiswa yang menjaga integritas yang dibekali saat ospek. Saya ber-azzam untuk membuat SIM melalui jalur reguler, dengan ujian dan tes praktik yang akan saya hadapi. Sebenarnya, saya punya sebuah peluang besar melalui jalur saudara, seorang polisi dan berpangkat lumayan tinggi. Tapi, saya memutuskan memperolehnya dengan usaha sendiri saja.
Saya pun memberanikan diri mengajukannya sendiri ke Samsat Kalideres. Saat sampai ke parkirannya, sudah tergaung-gaungkan dengan jelas larangan menggunakan calo dalam pembuatan SIM. Namun, cerita selanjutnya berbeda ketika masuk ke dalam “sarangnya”.
Saya mendaftar, membayar tarif normal, mengisi form yang disediakan, menunggu dan tibalah saatnya untuk ujian tertulis. Dengan polos terus menunggu hasil ujiannya, sesuai waktu yang ditentukan. Saya yakin lulus, karena sebelum ke Samsat itu, saya belajar sungguh-sungguh layaknya menghadapi UAN, SNMPTN, ataupun USM.
Akhirnya, penantian itupun sia-sia dengan diumumkannya bahwa saya termasuk satu di antara banyak peserta yang tidak lulus dalam ujian tertulis. Saya merasa kecewa. Saya tanya kapan ujian ulang, dan saya agendakan untuk ujian ulang 2 minggu kemudian. Saya persiapkan dengan belajar lebih giat ke toko buku.
Ujian kedua pun berlangsung dan hasilnya tetap tidak lulus. Saya heran, sesulit itukah penilaiannya? Hingga terbersit di hati, "UAN, SNMPTN, dan USM PTK saja alhamdulillah lulus, masa ujian seperti ini saja tidak lulus?"
Saya pun menuruti untuk ujian ketiga kalinya dan hasilnya tetap tidak lulus. Saya heran dan curiga dengan “permainan” di balik loket yang terjadi. Akhirnya, saya memberanikan diri untuk bertanya ke loket, kurang lebihnya seperti ini, “Kok saya ga lulus-lulus ya, Pak? Gimana neh supaya lulus?”
Jawaban mereka pun datar awalnya, “Ngulang lagi mas 2 minggu lagi.”
Saya terus mendesak. Akhirnya, terbukalah kedok sesungguhnya, “Ke lantai atas aja mas, ruang 37”.
Di ruang itulah terbukti, korupsi sistemik segerombolan polisi yang berprofesi sebagai oknum, atau sebaliknya. Saya dengan pasang body berpikir, kelicikan harus dihadapi dengan kecerdikan! Sudah pada batas maksimal toleransi.
Saya pakai cara terakhir, karena dengan cara reguler itu tak tembus-tembus, dengan mengatasnamakan sebagai anggota. Toh, keluarga saya adalah keluarga besar polisi dan ABRI, dan memang sepupu saya punya pangkat yang cukup ditakuti oleh mereka se-SAMSAT itu.
Masuk ke ruangan itu, setelah saya mengajukan untuk bisa lulus bagaimana caranya, mereka secara terang-terangan mengajukan permintaan uang, “Bawa duit berapa?”
Tapi pikirku cerdik, yang menyogok dan disogok akan sama-sama mendapat ganjaran kelak, na’udzubillah. Saya katakan tak punya uang, masih mahasiswa. Saya langsung “nembak”, "Saya anggota, Pak."
Spontan mereka kaget dan mengatakan, kenapa tidak bilang dari tadi. Saya dioper-oper ke ruang selanjutnya untuk mengurus kelulusan itu, yang mana saya mengajukan untuk ujian ulang, komputer! Saya berani, karena yakin lulus. Dan benar saja, terbukti SAYA LULUS dalam ujian komputer yang dilaksanakan dengan rombongan pembuat SIM kolektif yang sedang ujian formalitas dengan komputer. Benar saja, dengan manual saya tak akan lulus, dengan komputer terbuktilah sudah yang haq dan yang bathil!
Akhirnya lulus, ujian tertulis dan melanjutkan tahap selanjutnya ujian praktik. Tantangan yang sama saya hadapi. Pungli berlaku dengan diskriminasi yang terang-terangan antara yang bayar dan tidak bayar. Saya pun menggunakan cara jitu yang mereka takuti. Berbicara 4 mata dengan oknum dari mereka, dengan pasang badan siap mental akhirnya mereka meluluskannya juga. Toh, memang saya bisa lulus dengan ujian standar yang tak dipersulit.
Kesyukuran besar ketika bisa lulus ujian dan tantangan kecil ini. Jelas Allah memberikan kemenangan bagi kaum yang benar. Yang haq pasti mengalahkan yang bathil. Insyaallah. Wallahu’alam.
Lapangan Banteng,
YSN
korupsi di indonesia udah menjadi tradisi...ga ada hbisnya,,ngomongin korupsi...
ReplyDeleteikut prihatin :'(
Deletekunjungan gan .,.
ReplyDeletebagi" motivasi .,.
sikap yang positif tidak akan berguna tanpa di sertai dengan tindakan yang positif.,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.
SEGERA.. DTGGU..
Delete