“Soal
akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat
dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah
didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.” (Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar).
PERLU digarisbawahi, saat menonton film “?” (Tanda
Tanya) pada tayangan perdana, 6 April 2011 lalu, saya adalah seorang
Muslim. Saat memberikan komentar dan memberikan catatan kritis ini, saya
juga tetap Muslim, dan saya menggunakan perspektif Islam dalam
menganalisis film “?”. Sebagai Muslim, saya telah berikrar: Tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Dengan syahadat Islam itu, saya bersaksi, saya mengakui, bahwa Tuhan saya adalah Allah. Tuhan saya bukan Yahweh, bukan Yesus, bukan Syiwa. Tuhan saya Satu. Tuhan saya tidak beranak dan tidak diperanakkan. Saya mengenal nama dan sifat Allah bukan dari budaya, bukan dari hasil konsensus, tapi dari al-Quran yang saya yakini sebagai wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Karena itu, sejak dulu, dan sampai kiamat, saya dan semua orang Muslim memanggil Tuhan dengan nama yang sama, Allah, yang jelas-jelas berasal dari wahyu.
Sebagai Muslim, saya yakin, bahwa Nabi
Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) diutus oleh
Allah sebagai nabi terakhir. Sebagaimana para nabi sebelumnya – seperti
Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. – inti ajaran Nabi Muhammad Shalallaahu
'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah Tauhid, yaitu mensatukan
Allah. Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia (QS 34:28), bukan
hanya untuk bangsa atau kurun tertentu.
Itu artinya, kebenaran Islam, bukan hanya berlaku untuk orang Islam, tetapi berlaku untuk semua manusia. Syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) saat ini adalah satu-satunya syariat yang sah untuk seluruh manusia. Cara beribadah kepada Allah – satu-satunya – yang sah hanyalah dengan syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam. Jalan yang sah menuju Tuhan hanyalah jalan yang dibawa Nabi Muhammad.
Itu artinya, kebenaran Islam, bukan hanya berlaku untuk orang Islam, tetapi berlaku untuk semua manusia. Syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) saat ini adalah satu-satunya syariat yang sah untuk seluruh manusia. Cara beribadah kepada Allah – satu-satunya – yang sah hanyalah dengan syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam. Jalan yang sah menuju Tuhan hanyalah jalan yang dibawa Nabi Muhammad.
Akal saya tidak bisa menerima satu logika,
yang menyatakan, bahwa Allah telah menurunkan Nabi-Nya yang terakhir,
dan kemudian Allah SWT membebaskan manusia untuk memanggil nama-Nya
dengan nama apa pun, sesuai dengan selera manusia. Juga, tidak masuk di
akal saya, pendapat yang menyatakan, bahwa Allah SWT membebaskan manusia
untuk menyembah-Nya dengan cara apa pun, sesuai dengan kreativitas akal
dan hasrat nafsu manusia.
Saya yakin, sesuai QS 3:19 dan 3:85, bahwa
Allah hanya menurunkan satu agama untuk seluruh Nabi-Nya, yakni agama
yang mengajarkan Tauhid (QS 16:36). Jika satu agama tidak mengajarkan
Tauhid, pasti bukan agama yang diturunkan Allah untuk para Nabinya; dan
pasti merupakan agama budaya (cultural religion).
Itu keyakinan saya sebagai Muslim. Dan itu konsekuensi logis dari syahadat yang saya ikrarkan!
*****
Alkisah, Rika, seorang istri yang kecewa
terhadap suami. Rika memutuskan pindah agama, dari Islam menjadi
Katolik. Ia berujar, bahwa kepindahan agamanya bukan berarti
mengkhianati Tuhan. Meskipun Katolik, Rika sangat toleran. Anaknya , –
masih kecil, bernama Abi –dibiarkannya tetap Muslim. Bahkan, ia
mengantarjemput anaknya ke masjid, belajar mengaji al-Quran. Di bulan
puasa, dia temani dan dia ajar Abi berdoa makan sahur.
Di Film “?” (Tanda Tanya),
Rika ditampilkan sebagai sosok ideal: murtad dari Islam, tapi toleran
dan suka kerukunan. Pada segmen lain, secara verbatim Rika mengatakan,
BAHWA agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju
tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Kata Rika mengutip ungkapan sebuah
buku, “… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah
yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama,
yaitu Tuhan.”
Mulanya, kemurtadan Rika tidak direstui
ibunya. Anaknya yang Muslim pun awalnya menggugat. Tapi, di ujung film,
Rika sudah diterima sebagai “orang murtad” dari Islam. Bahkan, ada juga
yang memujinya telah mengambil langkah besar dalam hidupnya.
Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam film “?” garapan Hanung Bramantyo ini. Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya. Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah kesalahan besar. Saat duduk di bangku SMP, saya sudah menamatkan satu Kitab berjudul Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari Imam Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah.
Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam film “?” garapan Hanung Bramantyo ini. Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya. Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah kesalahan besar. Saat duduk di bangku SMP, saya sudah menamatkan satu Kitab berjudul Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari Imam Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah.
Dalam kitab inilah, sebenarnya umat Islam diingatkan agar menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah).
Dijelaskan juga dalam kitab ini, bahwa ada tiga jenis riddah, yaitu
murtad dengan I’tiqad, murtad dengan lisan, dan murtad dengan perbuatan.
Contoh murtad dari segi I’tiqad, misalnya, ragu-ragu terhadap wujud
Allah, atau ragu terhadap kenabian Muhammad saw, atau ragu terhadap
al-Quran, atau ragu terhadap Hari Akhir, sorga, neraka, pahala, siksa,
dan sejenisnya.
Masalah kemurtadan ini senantiasa
mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah
menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu
masalah iman. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan)
seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah
pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan bahaya dan
resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.
”Barangsiapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang
sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS 2:217).
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka
adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah
disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan
cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).
Jadi, riddah/kemurtadan adalah
masalah besar dalam pandangan Islam. Entahlah dimata kaum Pluralis!
Tindakan murtad bukan untuk dipertontonkan dan dibangga-banggakan! Dalam
perspektif Islam, patutkah seorang bangga dengan kekafirannya?
*****
Masih menyorot sosok Rika dalam film “?”. Rika
pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Dalam konsepsi Islam, Rika
bisa dikatakan telah melakukan dosa syirik, karena mengakui Yesus
sebagai Tuhan atau salah satu Oknum dalam Trinitas. Padahal, dalam
al-Quran Nabi Isa a.s. jelas-jelas menegaskan dirinya sebagai Rasul
Allah. Nabi Isa adalah manusia, dan bukan Tuhan, atau anak Tuhan. Ini
pandangan Islam. Tentu, ini bukan pandangan Kristen.
Dalam perspektif Islam, menurunkan derajat
al-Khaliq ke derajat makhluk adalah tindakan tidak beradab. Begitu juga
sebaliknya, menaikkan derajat makhluk ke derajat al-Khaliq juga tidak
beradab. Itu musyrik namanya. Seorang presiden saja tidak mau disamakan
dengan rakyat biasa. Jika lewat, dia minta diistimewakan. Kita diminta
minggir. Binatang juga dibeda-bedakan tempat atau kandangnya. Adab --
dalam konsepsi Islam -- mewajibkan seorang Muslim meletakkan segala
sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang sebenarnya, sesuai
ketentuan Allah. Nabi Isa a.s. adalah utusan Allah.
Tugasnya menyampaikan kepada Bani Israel,
siapa Tuhan yang sebenarnya, dan bagaimana cara menyembah-Nya. Nabi Isa
a.s. melanjutkan syariat Nabi Musa a.s.
Menuduh Allah mempunyai anak – menurut al-Quran – adalah sebuah kesalahan yang sangat serius. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19: 88-91).
Menuduh Allah mempunyai anak – menurut al-Quran – adalah sebuah kesalahan yang sangat serius. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19: 88-91).
Islam memandang keimanan sebagai hal
terpenting dan mendasar dalam kehidupan. Iman akan dibawa mati. Iman
lebih dari soal suku, bangsa, bahkan hubungan darah. Iman bukan “baju”,
yang bisa ditukar dan dilepas kapan saja si empunya suka. Iman juga
tidak patut diperjualbelikan: ditukar dengan godaan-godaan duniawi. Ada
perbedaan prinsip antara mukmin dan kafir. “Sesungguhnya orang-orang
kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka
Jahannam; mereka kekal di dalamnya.” (QS 98:6).
Demi mempertahankan iman, Nabi Ibrahim a.s.
rela berpisah dengan ayah dan kaumnya. Melihat tradisi penyembahan
berhala pada keluarga dan kaumnya, Ibrahim a.s. tidak berpikir sebagai
seorang Pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan
yang sama, dan punya tujuan yang sama. Tapi, Nabi Ibrahim berdiri kokoh
pada prinsip Tauhid, mengajak kaumnya untuk meningalkan tradisi syirik.
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata
kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini
sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau
dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74).
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata:
“Ya Tuhanku, jadikan negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan
jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya
Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan
dari manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka
sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 14:35-36)
“Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (QS 3:67).
Dan kini, dalam setiap shalat, kaum Muslim
membacakan doa untuk Nabi Muhammad saw dan sekaligus dirangkaikan dengan
doa untuk Nabi Ibrahim a.s. Itu tentu karena kegigihan Nabi Ibrahim
dalam menegakkan ajaran Tauhid dan bukan karena Nabi Ibrahim seorang
musyrik!
Maka, sebagai Muslim, saya tentu boleh
merasa heran, dan penuh Tanda Tanya, mengapa dalam film “?” -- yang
diproduksi dan digarap seorang yang beragama Islam -- soal ganti agama,
soal keluar dari Islam, soal pergantian mukmin menjadi kafir, dianggap
perkara kecil dan remeh?
*****
Syahdan, para pemikir ateis,
seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Jean Paul Sartre
dan sejenisnya, terkenal dengan gagasan-gagasan yang memandang agama dan
Tuhan sudah tidak diperlukan lagi di era zaman modern ini. Mereka
beramai-ramai mempermainkan Tuhan. Jean-Paul Sartre (1905-1980)
menyatakan: “even if God existed, it will still necessary to reject him,
since the idea of God negates our freedom.” (Karem Armstrong, History
of God, 1993). Thomas J. Altizer, dalam “The Gospel of Christian Atheism” (1966) menyatakan: “Only by accepting and even willing the death of God in our experience can we be liberated from slavery…” (Karen Armstrong, History of God)
Friedrich Nietzsche, dalam karyanya, Also Sprach Zarathustra, mengungkap
gagasan bahwa “Tuhan sudah mati”. Karena Tuhan sudah mati, dan tidak
diperlukan lagi, Nietzsche berpendapat, “Kepercayaan adalah musuh yang
lebih berbahaya bagi kebenaran, dibanding kebohongam.” Nietzsche ingin
bebas dari segala aturan moral, ingin bebas dari Tuhan. Ujungnya, pada
25 Agustus 1900, ia mati setelah menderita kelainan jiwa dan penyakit
kelamin. (Lihat, B.E. Matindas, Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern,
2010).
Jika direnungkan secara serius, Pluralisme Agama sejatinya bisa begitu dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”, sejatinya
bersemayam juga satu ide dalam dirinya, bahwa “semua agama salah”.
Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang
abstrak. Tuhan kaum Pluralis adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh
diberi nama siapa saja, diberi sifat apa saja, dan cara menyembahnya
pun boleh suka-suka. Kapan suka disembah, kapan-kapan tidak suka, bisa
diganti dengan Tuhan lain. Cara menyembah Tuhan, menurut mereka, juga
sesuka selera manusia. Bosan dengan cara satu, bisa diganti dengan cara
lain. Sebab, dalam konsep mereka, tidak ada satu cara yang pasti benar
dalam ibadah, sesuai petunjuk seorang Nabi.
Tuhan dalam Islam mengharamkan babi. Pada
saat yang sama, Tuhan dalam agama Kristen menghalalkan babi. Tuhan,
dalam agama Bhairawa Tantra, memerintahkan agar menyembelih wanita dan
darahnya kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam agama Children of God menganjurkan
seks bebas, sebagai wujud rasa kasih sayang antar-sesama manusia.
Kini, di daratan Amerika dan Eropa bermunculan gereja-gereja nudis. Baik
pendeta maupun jemaatnya, semuanya telanjang bulat saat melakukan
kebaktian. Jika semua jenis “Tuhan” itu diangga sama saja, maka “Tuhan”
yang mana yang disembah kaum Pluralis?
Jadi, saat seorang yang mengaku Pluralis
berkata, “Semua agama menyembah Tuhan yang sama”, maka secara hakiki,
dia telah berdiri di luar Islam. Sebab, dia tidak lagi menuhankan
Allah. “Tuhan”, baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud
apa saja. Bisa disebut Yehweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin,
dan bisa juga Iblis! Yang penting dikatakan “Tuhan”, yang penting God!
Padahal, seorang Muslim sudah mengikrarkan syahadat: “Tidak ada Tuhan
selain Allah”.
Meskipun menyebut Tuhan mereka dengan
“Allah”, tetapi kaum Quraisy ketika itu dikatakan sebagai “musyrik”,
sebab mereka menyekutukan Allah dengan Tuhan-tuhan lain. Allah hanyalah
salah satu dari Tuhan-tuhan mereka; bukan Tuhan satu-satunya. Sebutan
bisa sama, yakni “Allah”, tetapi konsepnya berbeda-beda. Sebagian
besar kaum Kristen di Indonesia menyebut juga Tuhan mereka dengan
sebutan “Allah”, tetapi konsepnya berbeda dengan “Allah” dalam Islam.
Lain lagi dengan aliran “Darmogandul” di
Tanah Jawa, yang mengartikan Allah dengan “ala” (bahasa Jawa, artinya
jelek). Dalam salah satu bait Pangkur-nya, Kitab Darmogandul,
menyatakan: “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan
baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka.
Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka
halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan
masin.”
Jadi, Tuhan yang mana yang disembah kaum
Pluralis? Jika Tuhan apa pun sama saja, lalu apa artinya Tuhan bagi
mereka? Ujung-ujungnya bisa jadi: Tuhan tidak penting! Sebab, dalam
pandangan kaum ini, Tuhan yang sejati (Allah), atau manusia, atau setan
dianggap sama saja. Semua bisa menjadi Tuhan dan dituhankan.
Ujung-ujungnya, Tuhan dianggap tidak penting. Bandingkan dengan sosok
Sigmund Freud, psikolog dan salah satu perintis ateisme modern, yang
berteori bahwa “Bertuhan, hanyalah wujud gejala penyakit jiwa
infantilisme (penyakit kekanak-kanakan). (B.E. Matindas, ibid).
Ketidakjelasan posisi teologis kaum
Pluralis Agama, digambarkan oleh Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta
Kristen di Malang, dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan
Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang:
Gandum Mas, 2004).
Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini,
bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa
teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama,
dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim
oleh masing-masing agama. Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi
Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau
jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun
Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk
menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi
mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling
tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an)
kebenaran yang ada di masing-masing agama.’’
*****
Sosok lain yang secara dominan ditampilkan
dalam Film “?” adalah seorang bernama Surya. Ia seorang laki-laki
Muslim, berprofesi sebagai aktor figuran. Dia berteman dengan Rika.
Karena miskin, ia terusir dari rumah kosnya. Lihatlah, dalam film ini,
Ibu Kos yang “bakhil” itu ditampilkan dalam sosok berjilbab, dan
mengajari anak Rika agar membaca buku-buku Islam!
Surya memuji-muji Rika telah melakukan
sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Mereka berkawan akrab. Surya
ditampilkan sebagai sosok yang polos, kocak dan naif. Untuk uang, dan
mungkin untuk mempertontonkan fenomena “kerukunan umat beragama”, Surya
menerima tawaran Rika agar berperan sebagai Yesus. Ia rela beradegan –
seolah-olah -- dipaku di tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat
perayaan Paskah. Pada kali lain, ia berperan sebagai Santa Claus.
Sebagian jemaat Gereja sempat memprotes sosok Yesus diperankan seorang
Muslim. Terjadi perdebatan. Muncul Pastor yang menyetujui penunjukan
Surya sebagai tokoh Yesus.
Seperti halnya Rika, tampaknya sosok Surya
ditampilkan sebagai representasi fenomena toleransi dan “kerukunan”.
Setelah merelakan dirinya berperan sebagai Yesus, Surya kembali ke
masjid membaca surat al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang
menegaskan kemurnian Tauhid. “Katakan, Allah itu satu. Allah tempat
meminta. Allah tidak beranak dan diperanakkan. Tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya.” Allah itu satu! Allah tidak punya anak! Ini
gambaran dalam Film “?” karya Hanung ini.
Padahal, surat al-Ikhlas seperti mengoreksi
doktrin pokok dalam agama Kristen, yang dirumuskan sekitar 300 tahun
sebelumnya, di Konsili Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam
Nicene Creed: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa,
Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada
satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari
Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari
terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak
diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili
Gereja).
Padahal, al-Quran sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).
Padahal, al-Quran sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).
Beratus tahun, sejak kelahirannya, Islam
membuktikan sebagai agama yang sangat toleran. Sejak awal, Islam
mengakui dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan.
Saat Nabi Muhammad s.a.w. diutus, di wilayah Timur Tengah, sudah eksis
pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad mengajak
mereka untuk memeluk Islam, mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan
dirinya adalah utusan Allah. Nabi tidak menyatakan, “Semua agama
sama-sama jalan yang sah menuju Tuhan!” Bahkan, ada perintah al-Quran
dalam surat al-Kafirun (109): “Katakan, hai orang-orang kafir, aku
tidak menyembah apa yang kamu sembah! Dan tidak pula kamu menyembah apa
yang aku sembah! Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah!
Dan kamu bukanlah pula penyembah sebagaimana aku menyembah!”
Dalam Tafsirnya, Al-Azhar, Prof. Hamka
menjelaskan, asbabun nuzul surat al-Kafirun ini berkaitan dengan tawaran
damai empat tokoh kafir Quraisy yang resah dengan dakwah Tauhid Nabi
Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Mereka
adalah al-Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin
al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka mengajukan usulan: “Ya
Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau
sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami
sembah….”
Buya Hamka mencatat: “Soal akidah,
diantara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat
dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah
didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.”
Lebih jauh Buya Hamka menjelaskan: “Surat
ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad
bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak
dapat dipertemukan. Kalau yang haq hendak dipersatukan dengan yang
batil, maka yang batil jualah yang menang.”
Itulah paparan Buya Hamka, ulama terkenal
dan salah satu Pahlawan Nasional di Indonesia. Kita bisa menyimpulkan,
jika ada yang menyatakan, bahwa “semua agama adalah jalan kebenaran”,
saat itu dikepalanya telah hilang konsep iman dan kufur, konsep tauhid
dan syirik. Baginya, tiada penting lagi, apakah seorang bertauhid atau
musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi atau ayam, minum khamr atau
jus kurma; tidak penting lagi berjilbab atau telanjang; tiada beda
antara nikah atau zina; yang penting – katanya – adalah mengasihi sesama
manusia. Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak ada; sudah
diganti dengan SATU AGAMA: “agama global”, “agama universal”, “agama
kemanusiaan”, atau “agama cinta”.
Persaudaraan global antar-sesama tanpa
memandang agama menjadi misi terpenting dari kelompok lintas-agama
semacam Theosofi dan Freemason. Ketua Theosofische Vereeniging Hindia
Belanda, D. Van Hinloopen Labberton pada majalah Teosofi bulan Desember
1912 menulis: "Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama?
Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan
pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah
peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya:
cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi
yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi
perkara dalam hati, batin.
Inikah yang dituju oleh Film “?” Jangan menuduh! Silakan dicermati dan direnungkan!
*****
Masih ada sosok lain yang diidolakan dalam film “?”.
Namanya, Menuk. Dia seorang muslimah, berjilbab pula. Menuk bekerja
di sebuah retoran Cina. Bermacam makanan dijual di sana, termasuk
babi. Dengan mencolok kepala babi ditampilkan. Kata si empunya
restoran, bahan babi dan bahan lain dipisahkan.
Menuk diterima bekerja dengan baik di
restoran ini. Ia diberi kebebasan ibadah. Dalam salah satu segmen,
ditayangkan Menuk sedang shalat, disampingnya Nyonya pemilik restoran
juga sedang bersembahyang sesuai dengan agamanya.
Pesan dari pemunculan sosok Menuk ini cukup
jelas: inilah contoh toleransi! Muslimah berjilbab rela bekerja di
sebuah restoran yang menjual babi.
Syukurlah, di akhir cerita, anak
pemilik restoran bersedia memeluk Islam. Ini tentu baik, dalam
perspektif Islam. Tetapi, apakah perlu harus melalui proses bekerja di
sebuah restoran yang menjual babi? Tujuan baik tidak boleh menghalalkan
segala cara. Tujuan memberi nafkah keluarga adalah baik. Tetapi, cara
yang ditempuh pun harus baik. Banyak muslimah yang gigih membantu
ekonomi keluarganya dengan bekerja keras dalam berbagai bidang profesi,
dan juga toleran dengan yang lain. Tapi, apakah Menuk sosok Muslimah
yang ideal untuk ditampilkan?
Walhasil, Film “?” karya
Hanung Bramantyo ini membawa pesan besar yang terlalu jelas: agama apa
saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak
menuju Tuhan yang sama. Juga, agama-agama dianggap barang remeh;
laksana baju, agama boleh ditukar dan -- kalau perlu -- dibuang kapan
saja! Katanya, demi kerukunan, demi toleransi, dan demi perdamaian.
Akhirul kalam, di era globalisasi
dan kebebasan informasi, saat kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan
dalam wujud yang menawan dan menghibur, ada baiknya kita merenungkan
satu ayat al-Quran: "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap
nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan setan (dari
jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu." (QS 6:112)
Juga, Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) pernah bersabda: “Bersegaralah
mengerjakan amal shalih, (sebab) akan datang banyak fitnah laksana
malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang berada dalam keadaan
mukmin, tetapi sore harinya menjadi kafir. (Atau) sore harinya dia
mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan
harta-benda dunia.” (HR Muslim).
Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011
Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011
Ketua Program Studi Pendidikan
Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan
Akhir Pekan (CAP) bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Foto: Sutradara "?" saat mendukung pembubaran FPI bersama aktivis LGBT di Hotel Indonesia
Video Tanggapan Tokoh Ulama Terhadap Film "?"
Oleh: Dr. Adian Husaini
Ustadz KH. Kholil Ridwan, Ketua MUI Pusat
http://hidayatullah.com/read/21363/26/02/2012/film-%E2%80%9C?%E2%80%9D:-apa-maunya?-[catatan-kritis-seorang-muslim].html
http://www.youtube.com/watch?v=1jDHmDOW7ds
www.youtube.com/watch?v=BBPJWU2EBIE
http://www.youtube.com/watch?v=1jDHmDOW7ds
www.youtube.com/watch?v=BBPJWU2EBIE
No comments:
Post a Comment
Silakan Berkomentar