facebook (Berita Sehat). Bapak Ma'rufin Sudibyo, seorang pakar astronomi UGM pada Selasa (7/8) menjelaskan secara rinci peristiwa gagalnya peluncuran satelit Telkom-3 milik PT Telkom (Indonesia).
Lagi-lagi industri peroketan Rusia ketiban apes. Kali ini roket Proton-M Briz-M gagal bekerja dengan sempurna. Setelah mengangkasa dari kosmodrom Baikonur beberapa jam lalu, tingkat ketiga gagal bekerja dengan baik. Akibatnya muatan yang dibawanya pun hilang di langit tanpa bisa mencapai orbit yang direncanakan.
Dan salah satu muatan itu adalah satelit Telkom-3, satelit telekomunikasi milik PT Telkom (Indonesia) dengan berat 1,6 ton yang direncanakan bisa beroperasi selama 15 tahun ke depan.
Dari sisi kualitas teknologinya, industri peroketan Rusia itu memang di bawah standar AS, Uni Eropa maupun Jepang. Desain dasar yg digunakan roket2 Rusia saat ini masih banyak yg berasal dari peninggalan era Sputnik setengah abad silam dengan beberapa perubahan kecil.
Sekilas terlihat reliabel. Apalagi dibanding AS, hingga 1980-an Rusia cenderung lebih sedikit mengalami kegagalan. Namun kini jumlahnya meningkat. Apa sebabnya? kompleks. Namun yang jelas Rusia sudah merasa berada di "zona nyaman" sehingga reliabilitas dan redundansi teknologinya menjadi tidak banyak diperhatikan.
Kasus kegagalan Phobos-Grunt misalnya, ternyata disebabkan oleh pemilihan mikrochip/prosesor yang tak jelas kemampuannya dalam uji ketahanan terhadap radiasi, tapi entah kenapa koq ya masih dipake.
asuransi memang dapat, namun potensi keuntungan juga lenyap. Apalagi mbangun satelit baru bukan perkara setahun dua tahun, entah kalo PT Telkom juga sudah mempersiapkan backup.
Ini juga baru pertama kali Telkom pake roket Rusia, sebelumnya mereka pake Ariane (Uni Eropa) yang diluncurkan dari Amerika Tengah. Pertimbangannya macem2 sih, memang salah satunya biaya peluncuran di Rusia itu lebih murah dibanding tempat lain. Dan dengan keberhasilan peluncuran roket Proton hingga 400 kali sejak 1965, asumsinya reliabilitasnya tinggi.
Saat proton M meluncur, tak ada radar negara2 saingan seperti AS dan Uni Eropa yang sanggup menjangkaunya karena masih over the horizon.
Jadi kasusnya beda dengan SSJ-100. Kasus SSJ-100 indikasinya, sejauh ini, akibat human error. Pilotnya mencoba 'bergaya' dengan melewatkan pesawat di antara dua pucuk Gunung Salak padahal dia belum pernah melakukannya, dan pengatur penerbangan ATC memberi otorisasi tanpa mengecek terlebih dahulu.
Justru peluncuran satelit ini sendiri tertunda berkali-kali sejak Mei 2012 karena memang diketahui ada problem di tahap Briz-M. Perbaikan dilakukan sejak itu. Eh ternyata masih kena apes juga.
"Sabotase sih nggak lah, kemungkinannya amat kecil. Sejak era Perang Dunia II org sdh bisa bikin roket yang anti-jamming (anti sabotase koq), dan dengan teknologi saat ini tentunya hal itu makin bagus saja.
Problem utamanya pada gagal bekerjanya tahap roket Briz-M. Seharusnya begitu tiba di ketinggian 192 km, dia langsung menyala setelah melakukan separasi untuk mendorong muatannya ke orbit transfer GTO. Kenyataannya dia nggak nyala2 juga. Kegagalan ini, seperti kasus Phobos-Grunt, mungkin lebih ke masalah sistem elektroniknya yang kurang tahan banting.
Melanjutkan hari sebelumnya, pada Hari Rabu (8/9) kemarin, beliau mengemukakan bahwa sampai saat ini tak ada kabar dari satelit Telkom-3 yang nyasar entah kemana setelah diluncurkan kemarin dengan roket Proton-M dan Briz-M (Russia). Rupanya Briz-M yang harusnya menyala 18 menit 7 detik hanya bekerja 7 detik saja, lalu mati.
"Soal satelit ketelingsut di langit, Indonesia punya dua pengalaman. Dua2nya akibat roket pendorong mati terlalu awal. Yang pertama saat Palapa B2 nyasar ke orbit tak dikehendaki pada 1984, namun berhasil diambil kembali, diperbaiki dan diterbangkan lagi sebagai Palapa B2R. Sementara yang kedua, saat Palapa D nyasar akibat roket tingkat tiga Longmarch (Cina) ngadat. Palapa D berhasil diselamatkan, namun umurnya berkurang dari seharusnya 15 tahun jadi 10 tahun. Kalo Telkom-3? Entah." Tuturnya menjelaskan sejarah sebelumnya.
yang jelas Telkom harus nunggu 2-3 tahun lagi guna mendapatkan satelit yang sama persis.
dari sisi teknologi komunikasi & informasi, hilangnya Telkom-3 menjadi bencana bagi jalur telekomunikasi strategis (untuk kepentingan militer dan keamanan) karena Telkom-3 memang diarahkan utk itu.
Di era Palapa, kita make AS (baik roket Delta maupun ulang alik), lalu Palapa C diluncurkan oleh Ariane punya Uni Eropa. Palapa D oleh Cina.
Satelit yang gagal mencapai orbitnya 3 : Palapa B2, Palapa D dan Telkom-3. Palapa B2 bisa diambil kembali dari langit dan diluncurkan ulang pada 1990, sementara Palapa D memanfaatkan bahan bakar internalnya untuk menuju orbit tujuan meski umurnya terkurangi dari 15 tahun jadi 10 tahun. Kalo Telkom-3 ga jelas, kayaknya Russia sudah lempar handuk.
semua satelit/wahana antariksa yang berada di orbit rendah (< 1.000 km) pada hakikatnya masih berada di atmosfer Bumi.
Satelit bisa diambil dan dibawa pulang lagi hanya jika menggunakan pesawat sekelas ulang-alik. Jadi ulang-aliknya dibawa hingga hingga ketinggian tertentu, sementara satelitnya juga diturunkan ke ketinggian tersebut. Setelah mereka berdekatan, tinggal astronotnya memegang satelit (lewat alat khusus) dan menariknya ke dek ulang-alik untuk diikat dan dibawa pulang.
kalo di catatannya Sattel, saat itu Palapa B2 dan Westar 6 nyasar ke orbit 400 km setelah gagalnya PAM upperstage bekerja optimal (seperti kasus Briz-M ini). untuk mengambilnya 9 bulan kemudian, satelit diturunkan ke ketinggian 250 km melalui serangkaian manuver.
posisi gampang diketahui, namun satu-satunya cara penyelamatan yang memungkinkan (sampek saat ini) hanyalah pake ulang-alik. Dan itu pun sudah pensiun semua. Di sisi lain, penyelamatan via ulang-alik juga nggak ekonomis, karena bisa jadi ongkos mengambil+bawa pulang lebih mahal ketimbang ongkos bikin satelit baru + menerbangkannya.
Dapat disimpulkan, sudah tak memungkinkan untuk menarik Telkom-3 maupun Ekspress-MD2. Tinggal bagaimana cara membuangnya dari langit, soalnya riskan berbenturan dg yg lain.
Pagi tadi (10/9) beliau melanjutkan bahwa USSTRATCOM mengonfirmasi roket Briz-M Phase III Upper stage memang macet dan secara otomatis melepaskan tanki bahan bakar beserta satelit Telkom-3 dan Ekspress-MD2 yang jadi muatannya. Jadi kini ada empat benda artifisial yang melayang pada ketinggian 267 x 5.017 km pada inklinasi 49,9 derajat.
Naga-naganya Russia sudah siap angkat tangan untuk mengembalikan satelit Telkom-3 dan Ekspress-MD2 ke tujuannya, atau untuk menjatuhkannya secara terkontrol ke Bumi. So kedua satelit itu kini menjadi sampah antariksa, yang bakal bertahan paling lama hingga 5 bulan ke depan.
Konfigurasi peluncuran membuat Telkom-3 dan Ekspress-MD2 tak punya cukup bhn bakar guna bergeser ke orbit yang dituju. Dengan orbit yg sekarang ditempati (267 x 5.017 km) sementara orbit tujuan adalah geostasioner (35.880 km di atas khatulistiwa), butuh bahan bakar yg bisa menyalakan mesin roket sampe 30-an menit atau lebih.
Sebaliknya untuk menurunkan keduanya ke proses penjatuhan terkendali juga bahan bakarnya kurang.
Satelit seperti di orbit geostasioner kan nggak hanya dipengaruhi gravitasi Matahari, melainkan juga oleh Venus, Mars dan bahkan Matahari. Karena itu posisinya sedikit demi sedikit bergeser. Sehingga butuh bahan bakar untuk melalukan manuver agar kedudukan operasionalnya tetap terjaga.
Seperti Palapa C atau D misalnya, keterbatasan semacam itu membuatnya hanya sanggup bertahan 15 tahun di orbit. Menjelang 15 tahun, bahan bakarnya menipis sehingga satelit harus digeser ke orbit pembuangan agar lokasinya bisa ditempatis atelit lain. Orbit geostasioner itu sangat berharga.
Beliau juga menambahkan kemungkinan terburuk dari kegagalan ini adalah, "jatuh kembali ke Bumi, intact (banyak bagian yang masih tersisa) dan jatuh di pemukiman padat dan sampai saat ini belum dapat dipastikan tempat jatuhnya" jawab beliau saat ditanya reporter kami Abu Umarov Al-Mazdabovsky via facebook.
Sumber
https://www.facebook.com/marufin.sudibyo
No comments:
Post a Comment
Silakan Berkomentar