(Arrahmah.com) – Sumber-sumber di sejumlah lembaga kemanusiaan melaporkan bahwa lebih dari 20 ribu warga muslim Rohingya gugur oleh serangan kelompok-kelompok 'teroris' Budha yang didukung oleh junta militer Myanmar, sejak kerusuhan meledak pada Juni 2012 lalu.
Penduduk muslim Rohingnya saat ini mengalami pembersihan etnis oleh kelompok-kelompok ekstrimis Budha yang merupakan warga mayoritas di Myanmar.
Penasehat Umum Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Sayid Al-Mishri dalam wawancara dengan situs Arab, Skynews, pada Ahad (15/7/2012) melaporkan bahwa kaum muslimin Rohingya mengalami ancaman pembantaian yang sangat keji.
Sayid Al-Mishri mengungkapkan bahwa OKI telah berusaha sekuat tenaga untuk mengirimkan utusan kemanusiaan ke Rohingya, namun junta militer Myanmar yang saat ini berkuasa dan pemerintah Myanmar periode sebelumnya tidak mengizinkan kedatangan utusan kemanusiaan itu.
Lebih lanjut Al-Mishri mengungkapkan bahwa OKI telah menjalin komunikasi dengan PBB dan sejumlah lembaga internasional lainnya untuk menekan junta militer Myanmar. Tanpa tekanan dunia internasional, lembaga-lembaga kemanusiaan kesulitan memberikan bantuan kepada kaum muslimin Rohingya yang dibantai di Myanmar.
Sementara itu Mentri Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA), syaikh Abdullah bin Zaid Ali Nahyan dalam pembicaraan via telepon dengan Sekretaris Jendral Organisasi Kerjasama Islam, Akmaludin Ihsan Oghlo, mengungkapkan UEA mendukung usaha OKI yang mengajak lembaga-lembaga internasional untuk melindungi kaum muslimin Rohingya dari aksi serangan, pembantaian, dan pengusiran oleh kelompok-kelompok ekstrimis Budha dukungan junta militer Myanmar.
(muhib almajdi/arrahmah.com)
JAKARTA (Arrahmah.com) - Pembantaian terhadap etnis Muslim Rohingnya di Myanmar (Burma) yang dilakukan oleh umat budha dengan dukungan dari militer Myanmar. Merupakan fakta yang tidak bisa dikesampingkan meskipun ada beberapa foto-foto hoax yang disebar.
"Foto-foto itu (hoax) tidak menjadi alasan untuk menolak adanya pembantaian. Sebab fakta-fakta yang ada menunjukkan adanya pembantaian dan pengusiran," kata pengamat hubungan internasional, Farid Wadjdi kepada arrahmah.com, Rabu (18/07/2012).
Lebih dari itu, menurut Farid, kasus Rohingya merupakan satu kasus bagaimana cerminan ketika umat Islam hidup di bawah rezim selain Islam yang mengidap Islamophobia (penyakit jiwa yang benci kepada Islam). Di Barat, yang dipimpin Nasrani, mereka juga dinilai menerapkan kebijakan Islamophobia. Begitu juga di India berkembang pula Islamophobia dengan rezim hindunya.
"Sedangkan Myanmar cerminan dari Islamophobia pemerintahan Budha," ujarnya.
Lanjut alumnus FISIP Universitas Padjadjaran ini, pembantaian tersebut mempunyai hubungan erat dengan kebijakan kolonial sejak penjajahan Inggris. Genosida dan pengusiran umat Muslim Rohingya sudah dilakukan sejak kesultanan Islam yang mana masyarakat Rohingya dikenal telah memeluk Islam sejak masa pemerintahan Islam Umar bin Abdul Aziz.
"Maka cara Inggris menekan orang-orang Islam adalah dengan memakai orang-orang Budha," lontarnya.
Kebijakan kolonial ini kemudian dilanjutkan oleh rezim militer yang berkuasa di Myanmar. Mereka menyerukan sikap anti Islam untuk menyatukan masyarakat Budha.
"Selama ini rezim militer menjadikan Islam sebagai musuh bersama," jelas Farid
Itulah sebabnya kenapa Aung Sang Su Kyi yang dikenal sebagai pejuang HAM memilih diam dalam kasus Rohingya. Ini adalah sebuah jebakan rezim militer.
"Karena kalau berpihak, dia tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat," tutur Farid.
Aung Sang Su Kyi sendiri menurutnya tidak bisa dijadikan tumpuan harapan untuk memprotes junta militer Myanmar, sebab Aung sendiri merupakan kaki tangan barat. "Dia masih antek Inggris," tandas Farid. (bilal/arrahmah.com)
ARAKAN (Arrahmah.com) - Kaum Muslimin di seluruh dunia telah melaksanakan ibadah shaum pada bulan Ramadhan 1433 H ini, begitupun dengan Muslim di Arakan (Rakhine), Burma (Myanmar). Meskipun Muslim Rohingya sedang dalam penindasan berlanjut, tetap menyambut Ramadhan dengan suka cita. Tetapi keadaan mereka masih memilukan hati.
"Ramadhan di Arakan kondisinya sangat mengerikan, tidak ada shalat di Masjid," kata seorang koresponden Kaladan News Network, media yang dikelola oleh Muslim Rohingya.
Lebih parah lagi, hampir tak ada makanan untuk berbuka, dan makanan yang biasa ada pun berkurang.
"Tidak ada makanan untuk berbuka, bahkan makanan yang biasa ada berkurang, tidak diizinkan untuk ke luar rumah untuk membeli bahan pangan," tambah koresponden itu.
Contohnya saja di Maungdaw, pihak berwenang setempat, petugas pemerintahan kabupaten U Aung Myint Soe dan petugas pemerintahan kota U Kyi San, memerintahkan semua warga desa, petugas desa, dan petugas keamanan Muslim untuk tidak memasuki Masjid-masjid untuk shalat berjama'ah sejak pertengahan bulan lalu hingga saat ini, berdasarkan laporan seorang pemuka agama Islam dari Maungdaw.
"Otoritas, terutama U Aung Myint Soe, petugas pemerintahan kabupaten, menyuruh untuk mengunci semua Masjid dan tidak ada satupun yang diizinkan untuk memasukinya untuk melaksanakan shalat," katanya.
"Tidak ada shalat berjama'ah di Masjid untuk shalat lima kali dalam sehari (shalat wajib), terutama pada hari Jum'at dan terkhusus shalat Ramadhan (Tarawih)," tambahnya.
Mendatangi Masjid terancam ditangkap
Kaum Muslimin yang mencoba mendatangi Masjid terancam ditangkap, seperti Hafez Jafor dari Masjid Ali Para dan Maulana Muhammad Yunus dari Masjid Kanree di kota itu ditangkap oleh polisi Musyrik pada saat mereka berada di halaman Masjid sekitar pukul 12:00, menurut laporan seorang tetua suku dari salah satu daerah di Maungdaw.
Selain itu, Maulana Muhammad Amin dan Maulana Sami Uddin dari Masjid di desa Maung Ni ditangkap oleh polisi yang sama sekitar 12:30, pada hari Sabtu (21/7/2012).
Di sisi lain, seorang saksi di desa Maung Ni mengatakan bahwa petugas polisi Musyrik juga menyiksa empat ustadz di jalanan, memukuli mereka dan menarik janggut mereka. Ketika mereka sedang disiksa, mereka berdo'a kepada Allah untuk memberi pertolongan, namun ketika mereka mengucapkan do'a mulut mereka dijejali sandal oleh para polisi biadab itu. (siraaj/arrahmah.com)
BURMA (Arrahmah.com) - Amnesti Internasional mengatakan Rohingya Muslim di Myanmar semakin sering ditekan dengan serangan bertarget, termasuk pembunuhan, perkosaan, dan kekerasan fisik lainnya.
Kelompok HAM ini menuduh pasukan keamanan dan etnis Buddha Rakhine melakukan serangan baru terhadap Rohingya.
Pemerintah Myanmar menolak mengakui etnis Muslim Rohingya sebagai warga negara karena menganggap mereka sebagai pemukim ilegal dari tetangganya, Bangladesh.
Pembunuhan terhadap kaum Muslim dimulai pada akhir Mei dan bentrokan menyebar di banyak negara bagian Rakhine, pesisir Myanmar.
Pemerintah Myanmar mengumumkan keadaan darurat pada 10 Juni, penggelaran pasukan untuk memadamkan kerusuhan serta melindungi masjid dan biara-biara.
Amnesti mengatakan serangan sedang diarahkan sebagian besar pada populasi Rohingya.
Serangan selama enam minggu terakhir memperlihatkan bahwa umat Islam umumnya dan Rohingya secara khusus menjadi target dan korban penyerangan, seperti dituturkan oleh Benjamin Zawacki, seorang peneliti Amnesti yang berbasis di Bangkok pada AP, Sabtu (21/7/2012).
"Beberapa dilakukan oleh tangan aparat keamanan sendiri, beberapa dilakukan oleh kolaborasi kaum Buddha Rakhine dengan pasukan keamanan. Pemerintah seolah menutup mata dalam beberapa kasus," tambahnya.
Kelompok ini juga mengatakan pasukan keamanan menahan ratusan warga Rohingya yang ditahan secara "incommunicado" (penahanan tanpa diberi akses untuk berkomunikasi sedikitpun dengan dunia luar).
"Sementara pemulihan ketertiban, keamanan, dan perlindungan hak asasi manusia tetap diperlukan. Penangkapan yang selama ini dilakukan telah sewenang-wenang dan diskriminatif, melanggar hak atas kebebasan dari diskriminasi berdasarkan agama," kata Amnesti dalam pernyataannya.
Myanmar menolak mengakui Rohingya dan mengklasifikasikan sebagai migran ilegal, meskipun Rohingya diyakini keturunan Muslim dari Persia, Turki, Bengali, dan asal Pathan yang bermigrasi ke Myanmar pada awal abad ke-8.
Amnesti juga menyerukan Myanmar untuk menerima Rohingya sebagai warga negara. (althaf/arrahmah.com)
MAUNGDAW (Arrahmah.com) - Sungguh berat ujian yang dialami Muslim Rohingya di bulan Ramadhan ini, selain nyawa mereka yang tiap hari terancam, mereka juga dipersulit mendapatkan makanan pokok oleh otoritas. Pemerintahan Kabupaten Maungdaw, U Aung Myint Soe dan seorang biksu telah memberikan arahan langsung kepada pasukan 'keamanan' dan masyarakat Buddhis Rakhine untuk menghentikan distribusi beras dari pasar oleh Muslim Rohingya, menurut seorang petugas desa dari kota Maungdaw, Arakan, Burma, dilansir Kaladan News.
"Para petugas pemerintahan kabupaten Maungdaw, U Aung Myint Soe dan petugas pemerintahan kota, U Kyi San, menyuruh seluruh pemilik toko Rohingya dari luar pasar kota Maungdaw untuk membuka toko mereka sejak 15 Juli melalui para petugas desa dan juga meyakinkan akan memberikan keamanan. Tetapi, ketika para pemilik toko Rohingya membuka toko mereka, mereka sadar tidak ada keamanan untuk mereka (toko mereka tidak aman lagi -red)," kata petugas desa itu kepada Kaladan Press.
"Para pemuda Rakhine dan para biksu mengambil gambar ketika para pemilik toko Rohingya datang ke toko atau ketika kembali dari rumah mereka untuk mengirim bahan makanan untuk rumah mereka. Setelah mengambil gambar, para pemuda Rakhine dan biksu menjarah barang-barang dari warga Rohingya. Tidak ada tanda-tanda keamanan untuk warga Rohingya yang otoritas Maungdaw (katakan) telah diberikan kepada mereka," tambahnya.
Contohnya saja pada awal Ramadhan empat pemuda Muslim dirampok oleh petugas polisi, seorang pemuda Muslim Rohingya mengatakan bahwa empat karung beras dirampas dari empat pemuda Muslim Rohingya oleh petugas polisi yang bernama Aye Htun Sein pada malam hari di desa Ali Para dan petuga polisi menahan empat karung beras itu di kompleks pembangkit listrik Maungdaw.
"Kami pergi melalui desa Rohingya karena takut penjarahan, tetapi akhirnya, kami kehilangan semuanya juga. Di rumah kami, kami tidak memiliki makanan untuk keluarga kami, setelah kehilangan karung-karung beras itu, kami akan kelaparan," kata pemuda itu.
Petugas desa di kota Maungdaw juga mengatakan bahwa awalnya masyarakat Muslim Rohingya mendapatkan beras di desa mereka melalui pasukan keamanan yang membawa karung-karung beras dan menjualnya di desa mereka, namun sekarang para biksu memberikan 'nasehat' kepada orang Rakhine untuk tidak melakukan jual-beli bahan makanan dengan Muslim Rohingya. Sehingga, warga Rohingya menjadi sangat kesulitan untuk mendapatkan makanan untuk kelangsungan hidup mereka.
Selain itu, Kaladan Press juga menyebutkan kesaksian warga setempat bahwa para petugas polisi dan warga Rakhine menjarah bahan makanan dari toko-toko milik warga Rohingya selama periode kerusuhan dan menyimpan sebagian besarnya di kompleks pembangkit listrik Mangudaw dan sebagian lainnya dikirim ke vihara-vihara di mana para pengungsi palsu Rakhine berlindung di sana hanya untuk periode distribusi bantuan dan kembali ke rumah mereka (setelahnya). Jika pun mereka menjual bahan makanan kepada Muslim Rohingya, mereka menetapkan harga yang tinggi.
Para biksu dari Maungdaw dilaporkan memang menolak bantuan makanan dari LSM-LSM untuk para 'pengungsi' Rakhine karena LSM baisanya mendistribusikan bantuan untuk kedua pihak, baik Buddhis Rakhine maupun Muslim Rohingya. Sementara Muslim Rohingya memilih untuk menahan perut mereka, jika tak ada bantuan, daripada mengambil resiko besar untuk membeli bahan makanan dari pasar. Para LSM sendiri sadar apa yang sebenarnya terjadi di Maungdaw.
Para biksu Rakhine tahu betul bahwa mereka akan menerima bantuan makanan dari para pendonor lokal dari Burma yang hanya memberikan bantuan kepada masyarakat Buddhis yang bukan pengungsi sebenarnya. Menurut kesaksian, drama pengungsian warga Rakhine sengaja dibuat untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa mereka hidup dibawah ketakutan akan serangan dari masyarakat Muslim Rohingya.
Namun pada kenyataannya, Muslim Rohingya lah yang menjadi pengungsi dan menderita di Maungdaw, tidak di kamp-kamp pengungsian resmi karena pemerintah Burma tidak mendirikan kamp pengungsian untuk warga Rohingya. Muslim Rohingya yang menjadi pengungsi di tanah airnya sendiri, hanya berlindung di tempat kerabat mereka atau desa yang lain. Tidak ada yang memberikan bantuan secara signifikan kepada mereka, mereka berjuang bertahan hidup dengan saling membantu antar sesama mereka. (siraaj/arrahmah.com)
MAUNGDAW (Arrahmah.com) - Otoritas 'keamanan' Burma -polisi, pasukan keamanan perbatasan (Nasaka) dan tentara- terus melakukan kampanye penangkapan Muslim Rohingya sejak Jum'at pekan lalu, berdasarkan laporan seorang guru sekolah di Maungdaw, dilansir Kaladan News.
Petugas polisi dari salah satu pos pemeriksaan menangkap 4 Muslim Rohingya dari desa Samwana Para di dekat desa Myothu Gyi, Maungdaw, Arakan pada Senin pekan ini sekitar pukul 17:30, lapor seorang tetua dari desa Myouthu Gyi.
Tetua desa tersebut juga mengatakan, "Orang-orang yang ditangkap tinggal di dekat sekolah dasar di desa itu dan mereka adalah Abdul Sukur (putera dari Reyaz), Abdul Sukur (putera dari Kala Meah), Rashid (putera dari Abdul Sukur) dan Putu (putera dari Abdul Sukur)."
"Shadek Hassan (putera Osman) dari Samwawna Para ditangkap oleh Nasaka yang berada di dekat desa Natala (pemukim baru), tetapi mereka dibebaskan kembali setelah diperas 20.000 Kyat," tambahnya.
Nasaka juga menangkap beberapa Muslim lainnya, diantaranya Somi Ullah (putera dari Dilu), Rahamat Ullah (putera dari Dilu), Nur Hashim (putera dari Bashir) dan seorang lainnya dari daerah Gun Para di desa Shwezarr.
Sementara itu, dua muallaf (mantan etnis Buddhis Rakhine) bernama Zakawriya dan Yasein dari desa Thanda juga ditangkap pada hari yang sama oleh tentara Burma, keluarga mereka sangat khawatir akan keadaan mereka karena tentara membawa mereka ke hutan dan hingga sekarang belum diketahui bagaimana nasib mereka.
Lainnya, Abdullah (putera dari Nurmal Hakhin), Habibullah (putera dari Sultan), Maghgul (putera dari Abdul Rashid) dan Foor Khan (putera dari Ali Hassan) dari desa Alay Than Kyaw juga ditangkap oleh Nasaka, menurut laporan seorang tetua dari desa tersebut.
Di Buthidaung, pasukan 'keamanan' telah melakukan aksi penangkapan Muslim Rohingya dari Masjid-masijd dan rumah-rumah mereka sejak awal Ramadhan ini.
Menurut seorang pedagang di Buthidaung, setidaknya pada hari Senin tercatat 5 Muslim ditangkap oleh polisi karena shalat di Masjid, mereka adalah Syed Ahmad (putera dari Amir Rafiqe), Salib (putera dari Abdul Amin), Shakar (putera dari Sultan), Salim (putera dari Faid Ahmad) dan Abdul Rahaman (putera dari Abdul Malik) dari desa Ywama di kota Buthidaung, sementara pada hari Selasa dua Muslim lainnya ditangkap oleh polisi tanpa alasan yang jelas.
Penangkapan juga terjadi di bagian kota Buthidaung lainnya, di mana 18 Muslim ditangkap tanpa alasan yang benar dan 43 lainnya ditangkap di Masjid ketika mereka sedang melaksanakan shalat berjama'ah.
Umumnya Muslim yang ditangkap akan ditahan hingga keluarga mereka bisa menebus mereka dengan pembayaran yang ditetapkan oleh otoritas, jika tidak mereka akan tetap ditahan. (siraaj/arrahmah.com)
Sumber:
https://www.facebook.com/jamal.alhaydar
Saat muslim membantai di New York 11 september mereka teriak Allahuákbar kegirangan, dan sekarang pembantaian muslim Roingya Nyanmar seharusnya mereka teriak Allahuḱbar muslim Rohingya telah dibantai...?
ReplyDelete:)
Deleteitulah kalau tidak adil menilai dalam meinmbang, bagaimana bisa disamakan antara orang-orang yang lemah dari kaum muslimin rohingya dengan manusia2 laknat negara teroris Amerika yang melakukan kejahatan kemanusiaan sejak pembantaian suku asli amerika sampai era Afghanistan, Iraq, libya kemarin dan somalia?
bagaimana bisa disamakan antara pembantaian rezim berkuasa kafir budha myanmar dengan serangan balasan 11/9 Al Qaeda atas kepongahan penjajahan Amerika di Afghanistan sejak era 80-an sampai sekarang?
itu menandakan pengamatan Anda tidak teliti atau memang picik tidak mau adil menerima berita.